Patgulipat Kolaborasi Membunuh KPK


Wadah Pegawai KPK memasang selubung hitam di Gedung Merah Putih KPK (MP/Asropih)
MerahPutih.com - Nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya tak pernah hilang dari peredaran karena hampir selalu menangkap para koruptor di Indonesia. Dilansir web resmi KPK, sepanjang 2005-2018 ada 578 kasus tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang berawal dari penindakan lembaga antirasuah.
Ratusan perkara ini tentu hanyalah fenomena puncak gunung es saja. Artinya, masih banyak kasus korupsi di tanah air yang belum tampak. Namun demikian, kedigdayaan KPK ini nyatanya sedang terusik. Setidaknya terdapat tiga hal, yaitu calon pimpinan bermasalah, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan RUU KUHP.
Baca Juga:
Wadah Pegawai: Jangan Sampai KPK Dipimpin Orang yang Punya Reputasi Buruk
Disusupi Capim Bermasalah

Dalam isu pertama, banyak kalangan yang menilai bahwa capim yang diseleksi bukanlah putra-putri terbaik Indonesia lantaran terdapat beberapa orang yang dianggap bermasalah, dari mulai dugaan pelanggaran kode etik hingga menerima gratifikasi.
Sejumlah kalangan meragukan kualitas dan integritas capim KPK saat ini sehingga publik pun khawatir jika KPK periode 2019-2023 hanya akan menjadi alat kekuasaan saja, bukan lagi menjadi alat penegak hukum.
Komisi III DPR bakal melaksanakan proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 Capim KPK periode 2019-2023, Senin (9/9) hari ini. Proses pertama yang dilakukan Komisi III DPR adalah melakukan pengujian pembuatan makalah terhadap 10 capim KPK.
Baca Juga:
Sepuluh kandidat Capim KPK itu yakni Alexander Marwata (KPK), Firli Bahuri (Polri), I Nyoman Wara (Jaksa), Johanis Tanak (Jaksa), Lili Pintauli Siregar (Advokat), Luthfi Jayadi Kurniawan (Dosen), Nawawi Pomolangi (Hakim), Nurul Ghufron (Dosen), Roby Arya Brata (PNS Sekretariat Kabinet), dan Sigit Danang Joyo (PNS Kemenkeu).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, dari 10 nama kandidat Capim KPK terdapat beberapa nama yang ingin melemahkan kinerja lembaga antirasuah. Bahkan, dia menilai, salah satu Capim dalam tes wawancara dan uji publik ingin KPK tak mengusik perkara korupsi di institusi Polri dan Kejaksaan.

"Padahal kita tahu KPK dibentuk untuk memberantas korupsi yang juga menindak institusi penegak hukum," kata Asfinawati, kepada wartawan baru-baru ini.
Kendati demikian, Asfinawati enggan membeberkan secara rinci siapa saja di antara 10 nama tersebut yang bermasalah. Ia menginginkan Presiden Jokowi menelisik lebih dalam nama-nama Capim KPK yang telah diserahkan Pansel.
"Ada calon yang tersangkut masalah etik, ada calon yang tidak ingin ada OTT lagi, pencegahan tidak ada, penyidikan dihilangkan. Jadi sebenarnya apa yang tersisa dari KPK tidak ada. Karena itu kita ingin mengingatkan presiden. Apakah orang-orang ini menurut UU yang bermasalah akan dipilih," ujar Asfinawati.
Serangan dari Legislasi

Serangan kedua adalah RUU KPK. RUU ini telah diketuk palu oleh DPR pada 5 September lalu. Isu ini tidak kalah ramai memantik protes, tak hanya publik tapi juga dari internal KPK sendiri. Bahkan, para pegawai KPK sempat melakukan unjuk rasa terkait hal ini di kandang mereka, Gedung KPK.
Berdasar siaran pers KPK, setidaknya terdapat sembilan pokok persoalan dalam RUU KPK yang berpotensi melumpuhkan lembaga antirasuah tersebut. Muai dari terganggunya independensi KPK, dipersulitnya penyadapan, adanya koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk penuntutan perkara korupsi dan dibentuknya Dewan Pengawas KPK yang dipilih oleh DPR.
Baca Juga:
Rasamala Sebut Bola Panas Revisi UU KPK Ada di Tangan Presiden Jokowi
Ketua KPK, Agus Rahardjo pun angkat bicara mengenai hal ini. Ia mengungkapkan, setidaknya terdapat 255 perkara tindak pidana korupsi yang menyangkut anggota DPR dan DPRD. Selain itu, juga terdapat 110 perkara yang berkaitan dengan korupsi Kepala Daerah. "Ini baru data sampai Juni 2019," tegas Bos KPK itu.
Menurut Agus, selama pemberantasan korupsi terus dilakukan, tak pernah ada yang membayangkan ada ratusan wakil rakyat dan kepala daerah yang tersentuh hukum. Bukan sekedar melibatkan hitungan numerik tersangka pejabat publik saja, melainkan juga proyek ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang dipotong untuk commitment fee untuk para pejabat.
Karena itulah, Agus secara tegas menolak adanya RUU KPK yang sudah disahkan DPR sebagai prioritas legislasi. "Bahkan KPK tidak pernah dilibatkan membahas rancangan yang secara diam-diam muncul," jelas Agus.
Baca Juga:
Agus menambahkan, RUU KPK yang berpotensi melumpuhkan KPK telah melanggar amanat reformasi lantaran mengganggu upaya pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme memang menjadi salah satu agenda dari reformasi yang diatur dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta TAP MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selain itu, terdapat dua undang-undang, yaitu UU Nomor 28 Tahun 1999 dan UU Nomor 31 Tahun 1999. Pembentukan KPK sendiri merupakan amanat dari UU 31/1999.
Baca Juga:
Simbol Berduka, Wadah Pegawai Tutup Plang Nama KPK dengan Selubung Hitam
"Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi juga menegaskan posisi KPK sebagai lembaga yang bersifat penting bagi konstitusi atau constitutional important," jelas Agus.
Putusan MK yang dimaksud Agus adalah Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan MK No. 49/PUU-XI/2013 yang menegaskan keberadaan KPK merupakan turunan dari Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Aturan-aturan di atas membuat Agus yakin bahwa upaya pelumpuhan terhadap KPK harus ditolak secara tegas karena sangat terang merupakan bentuk terhadap amanat reformasi. "Serangan-serangan terhadap KPK mungkin tidak akan pernah berhenti sepanjang kekuatan para koruptor masih ada dan tumbuh subur," ujarnya.
KPK Dipaksa Mati

Agus mengungkapkan, pihaknya telah mengirim surat resmi kepada Presiden Joko Widodo terkait hal ini. Ia berharap Jokowi turun tangan dalam masalah ini. "Di mana pun di dunia, keberlanjutan lembaga antikorupsi sangat tergantung pada pimpinan tertinggi," katanya.
"Kami percaya Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan anak reformasi ini tersungkur, lumpuh dan mati," imbuh orang nomor satu di lembaga antirasuah itu.
Baca Juga:
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas menilai serangan bertubi-tubi terhadap lembaga yang pernah dipimpinnya sama saja seperti membunuh KPK secara perlahan. Menurut dia, semua fraksi di DPR sepakat untuk membunuh lembaga antirasuah lewat proses revisi UU KPK
"Semua fraksi di DPR sepakat membunuh KPK. Merekalah pembunuh rakyat," kata Busyro dalam keterangan tertulis yang diterima MerahPutih.com, Senin (9/9).
Busyo pun menegaskan pengabdian nan tulus jajaran KPK sejak 17 tahun yang lalu hingga kini semata untuk membebaskan ratusan juta rakyat yang dimiskinkan oleh para koruptor telah dikhianati. Menurut dia, para ketua umum partai politik yang paling bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan ini. Pasalnya, sikap fraksi merupakan kepanjangan tangan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol.
"Ketum-ketum parpol paling bertanggungjawab atas tragedi kemanusian ini," tegas Busyro.

Kritik senada pun diungkapkan eks Ketua KPK, Abraham Samad. Menurut dia, ada enam pokok krusial dalam RUU KPK yang akan membuat KPK "mati suri". Enam pokok tersebut yaitu:
- Hendak dimasukkan KPK di bawah ketiak lembaga eksekutif
- Dibatasinya kewenangan penyadapan
- Sinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya
- Laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara (LHKPN)
- Dibentuknya Dewan Pengawas KPK
- Pembatasan waktu penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
Menurut Samad, poin pertama, dua, lima dan enam dapat membuat KPK mati suri. Dari poin-poin itu, dia melihat ada empat siasat yang digunakan untuk melumpuhkan dan mematikan KPK.
Siasat pertama, keberadaan KPK di bawah kekuasaan eksekutif jelas akan menihilkan indepensi lembaga antirasuah ini. KPK, kata Samad, akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kondisi ini disebutnya akan berpotensi menimbukan konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik korupsi. Selain itu, KPK juga akan berbenturan dengan Kejaksaan yang memang design konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam “perebutan pengaruh”.
"Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih," ungkap Samad.
Baca Juga:
Komisi III DPR Siap Dalami Rekam Jejak dan Integritas 10 Capim KPK
Siasat kedua adalah melumpuhkan sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas.
Menurut Samad, tampak sekali tim perumus naskah RUU KPK tidak memahami SOP penyidikan dan penyadapan di KPK. Selama ini, ungkapnya, penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui banyak meja, mulai dari Kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima Pimpinan.
"Jadi sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," jelas Samad.
Siasat Ketiga adalah membentuk organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Samad pun mengkritisi hal ini lantaran tidak dinilai tidak memiliki urgensi. Ia menilai, tak ada satu pihak pun yang dapat menjamin Dewan Pengawas bebas dari kepentingan politik.
"KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada Pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang," kata Samad.

Sementara pada siasat terakhir, RUU KPK hendak memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
Menurut Samad, hal ini akan membuat KPK tidak berbeda dengan Kejaksaan dan Kepolisian, dua lembaga dengan wewenang yang sering disorot masyarakat sipil. Padahal, kata dia, selama ini KPK selalu berhasil membuktikan praktik korupsi dalam setiap sidang tindak pidana korupsi meski tanpa kewenangan SP3.
"Jadi, KPK jangan disuruh berkompromi dengan kasus tipikor yang disidiknya dengan memberikan wewenang menerbitkan SP3," tegas mantan Bos KPK itu
Dengan demikian, Samad menilai RUU KPK penuh dengan muatan politis, alih-alih kepentingan hukum yang mendesak. "DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan Rancangan Undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik Undang-undang KPK dan akan berhadapan dengan masyarakat," tutup dia. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
KPK Duga Putri Mendiang Eks Gubernur Kaltim Awang Faroek Kerap Minta Suap

KPK Tahan Putri Eks Gubernur Kaltim Awang Faroek Terkait Suap Tambang Rp 3,5 M

KPK Menduga Ridwan Kamil Terima Uang Dugaan Korupsi Bank BJB saat Jabat Gubernur Jawa Barat

Ungkap Modus Jual Beli Kuota Haji, KPK: Tidak Secara Langsung

KPK Tahan 3 Orang dari 4 Tersangka Korupsi Proyek Katalis Pertamina Rp 176,4 M

Mercy dan BAIC Eks Wamenaker Noel yang Disembunyikan Anaknya Akhirnya Diserahkan ke KPK

Khalid Basalamah Penuhi Panggilan KPK, Jadi Saksi Kasus Korupsi Kuota Haji Kementerian Agama

KPK Sita 2 Rumah di Jaksel terkait Korupsi Kuota Haji, Nilainya Sekitar Rp 6,5 Miliar

Lelang HP Sitaan Koruptor: iPhone Hingga Samsung Mulai Harga Rp 1,9 Juta, Pahami Syarat dan Mekanismenya

KPK Periksa Wasekjen GP Ansor, Dalami Hasil Penggeledahan di Rumah Gus Yaqut
