Jokowi Dinilai Rusak KPK Secara Sistematis
Sabtu, 14 September 2019 -
MerahPutih.com - Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Surat Presiden nomor R-42/Pres/09/2019 kepada DPR terkait revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam surat itu, Jokowi menugaskan Menteri Hukum dan Asasi Manusia dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.
Baca Juga
Praktisi hukum Chandra Irawan berpendapat Jokowi dianggap setuju untuk melemahkan KPK dengan keluarnya surpres itu dan mengirimnya ke DPR.
"Sepatatutnya Jokowi dapat mencium ‘gelagat tidak baik’ dalam usulan revisi UU KPK oleh DPR. Namun dengan menerbitkan surpres itu, artinya Jokowi dapat dianggap tutup mata dengan kejanggalan yang ada," kata Chandra dalam keterangannya, Sabtu (14/9).

Chandra berpendapat, masyarakat menilai dan mempertanyakan rezim Jokowi terhadap komitmen penguatan kedudukan dan kewenangan KPK serta komitmen terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Korupsi adalah kejahatan yang dapat dinilai lebih berbahaya dari tindak pidana teroris, karena dampak korupsi sangat luas, massif dan berkelanjutan," ungkap dia.
Baca Juga
Ketua Perkumpulan Sarjana Hukum Muslim Indonesia ini menambahkan, bahwa terkait revisi UU KPK terdapat potensi pelemahan terhadap kedudukan dan kewenangan KPK.
Di antaranya kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum tidak lagi independen, sebab berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Para pegawainya pun menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada peraturan kepegawaian pemerintah.
"Menghilangkan independensi KPK berarti membuka ruang terciptanya intervensi eksekutif dalam pengusutan kasus korupsi," jelas Chandra.
Ia beranggapan, KPK tak lagi leluasa menjalankan tugasnya sebab harus taat pada aturan dan kekuasaan pemerintah. "Bisa jadi, ketika ada korupsi di tubuh pemerintahan, gerak KPK berpotensi menjadi sempit,"imbuh Chandra.
Baca Juga
Alexander Marwata Bantah KPK Tolak Firli Bahuri Sebagai Pimpinan
Ia juga berujar, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, Penyelidik KPK berasal dari Polri bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik sendiri.
Sementara, kebijakan penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi.

"Hal ini beresiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara," sesal Chandra.
Kemudian, pembentukan Dewan Pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara.
Baca Juga
Pilih Firli Sebagai Ketua KPK, DPR Dinilai Kehilangan Legitimasi dari Rakyat
"Karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan," pungkas Chandra. (Knu)