Komnas HAM Minta Presiden dan DPR Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja


Sejumlah buruh pabrik garmen berjalan keluar pabrik di Jalan Industri, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (20/2). (ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/ama/17.)
MerahPutih.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan agar Presiden Joko Widodo dan DPR tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Pasalnya, RUU Omnibus Law tersebut berpotensi mengancam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan HAM.
Berdasarkan hasil kajian Komnas HAM, pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca Juga:
"Hal ini khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 yang menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," demikian keterangan resmi Komnas HAM yang disampaikan kepada awak media, Kamis (13/8).
Komnas HAM juga menilai terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Seperti muncul di dalam Pasal 170 Ayat 1 dan 2 RUU Cipta Kerja. Menurut Komnas HAM, pasal itu menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang, muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.
Kemudian, Komnas HAM menilai RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Dari situ, berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.
"Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya, sehingga apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum," tulis Komnas HAM.

Selanjutnya, Komnas HAM menilai terdapat kemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak jika RUU Cipta Kerja disahkan. Buntutnya, hal itu bakal melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
"Hal ini di antaranya terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak, kemudahan dalam proses atau mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti dan istirahat, serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi," tulis Komnas HAM.
Selanjutnya Komnas HAM menilai RUU Cipta Kerja melemahkan kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
RUU Cipta Kerja juga dinilai memberikan relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata
ruang dan wilayah.
"Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU No. 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dengan membuka semakin luasnya obyek yang masuk kategori kepentingan umum, padahal tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak," tutur Komnas HAM
Berikutnya Komnas HAM berkesimpulan bahwa aturan itu memundurkan pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses serta kepemilikan sumber daya alam. Terutama, antara tanah masyarakat dengan perusahaan.
Baca Juga:
Hal ini di antaranya, terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan bank tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang
diberikan selama 90 tahun.
Kemudian Komnas HAM berkesimpulan bahwa politik penghukuman di dalam RUU Cipta Kerja terlalu diskriminatif. Pasalnya, aturan itu lebih menjamin kepentingan kelompok pengusaha.
"Hal ini terkait dengan perubahan ketentuan penghukuman dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi administrasi denda untuk pelanggaran awal, di mana sanksi pidana penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi denda tidak dibayarkan," tulis Komnas HAM. (Pon)
Baca Juga:
Soal RUU Cipta Kerja, PKS Desak Pemerintah Tak Kembali Putar Jarum Sejarah ke Era Sentralistik
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Bentuk Tim Pencari Fakta Kerusuhan Demo, 6 Lembaga HAM Bantah Jalani Instruksi Prabowo

Komnas HAM Minta Polda Buka Ruang Peninjauan Kembali Kasus Kematian Diplomat Arya

Temuan Komnas HAM di Balik Persekusi Retreat Kristen di Cidahu Sukabumi, Pengusiran hingga Perusakan

Pembubaran Retreat Keagamaan di Sukabumi Dinilai sebagai Bentuk Pelanggaran HAM dan Intoleransi

Bantah Fadli Zon, Komnas HAM Ungkap Bukti Kekerasan Seksual saat Peristiwa Mei 98

Komnas HAM Bakal ke Raja Ampat, Selidiki Dugaan Intimidasi hingga Pelanggaran Tambang Nikel

Proyek Tambang Nikel di Raja Ampat Berpotensi Langgar HAM, Bisa Picu Konflik Horizontal

TNI AD Anggap 'Sentilan' Komnas HAM soal Insiden Ledakan Garut sebagai Masukan

Komnas HAM Temukan 21 Buruh Sipil Dibayar Rp 150 Ribu Saat Ledakan Garut, TNI Angkat Suara

Komnas HAM Investigasi Kasus Tragedi Pesta Miras Oplosan di Lapas Bukittinggi
