Digital Self Harm, Perilaku Merundung Diri Sendiri di Media Sosial


Digital self harm, umumnya terjadi dikalangan remaja. (unsplash/@punttim)
BULLYING bukanlah hal yang bisa dianggap remeh, banyak sekali remaja bahkan orang dewasa yang menjadi korban perundungan secara online (cyberbullying) di media sosial yang berujung pada depresi.
Tidak ada yang mau kena bully, tetapi terdapat perilaku unik yaitu praktik bullying terhadap diri sendiri secara online di media sosial.
Baca juga:
Dikenal dengan istilah digital self harm, praktik ini sering dilakukan terutama oleh para remaja. Sebenarnya apa yang memicu perilaku ini?

Melansir laman VICE, dipublikasikan di Journal of Adolescent Health, peneliti menyebutkan digital self-harm perilaku berupa mengunggah, mengirim, atau membagikan materi negatif tentang diri sendiri.
Salah satu penulis studi, seorang ahli dalam isu cyberbullying, Justin W. Patchin berbagi pengalamannya saat ia dihubungi oleh polisi mengenai kasus ini.
Seorang menerima pesan anonim bertulis, "jika kamu tidak bunuh diri malam ini, saya akan melakukannya untukmu." Saat diinvestigasi, ternyata pesan anonim tersebut berasal dari sang korban sendiri.
Melansir laman NPR, Psikolog anak Sheryl Gonzalez-Ziegler mengatakan ini adalah masalah yang berkembang dan dilakukan oleh klien remajanya.
Seorang gadis remaja, secara anonim menindas dirinya sendiri karena dia merasa rentan dan terbuka atas orientasi seksualnya.
"Dia membuat akun hantu di Instagram dan mengunggah komentar jahat tentang dirinya, mengatakan hal-hal seperti, "Saya pikir kamu menyeramkan dan gay" dan "Jangan duduk di sebelah saya lagi," kata Ziegler kepada NPR.

Studi yang dipublikasi di Journal of Adolescent Health mengatakan, remaja menindas diri mereka sendiri secara online sebagai cara untuk mengelola perasaan sedih dan benci pada diri sendiri. Termasuk untuk mendapatkan perhatian dari teman mereka.
Untuk penelitian ini, 5.593 siswa sekolah menengah dan sekolah menengah atas dari seluruh AS, dari usia 12 hingga 17 tahun, menyelesaikan serangkaian kuesioner yang menanyakan tentang pengalaman mereka dengan tindakan digital self-harm dan cyberbullying.
Sameer Hinduja, salah satu penulis studi dan profesor kriminologi di Florida Atlantic University mengatakan kepada NPR, 6 persen remaja yang berpartisipasi dalam penelitian terlibat dalam beberapa bentuk tindakan digital self-harm.
Baca juga:
Melansir laman VICE, ketika peneliti bertanya kepada para responden apa yang memotivasi mereka untuk melakukan digital self-harm, muncul beberapa tema. Beberapa dari mereka melakukan ini untuk menguji teman mereka untuk melihat bagaimana hal tersebut akan ditanggapi.
Sebagian lagi melakukannya untuk melucu atau menarik perhatian pada diri mereka sendiri. Sisanya memiliki perasaan harga diri yang rendah dan membenci diri sendiri. "Karena saya sudah merasa buruk dan hanya ingin diri saya sendiri merasa lebih buruk," ucap seorang anonim.

Melansir laman NPR, analisis statistik oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit terhadap kunjungan ruang gawat darurat selama lebih dari satu dekade di AS. Menunjukkan sejak 2009, jumlah anak perempuan usia 10 hingga 14 tahun yang secara fisik melukai diri sendiri terus meningkat.
Menurut American Psychological Association, remaja yang melukai diri sendiri sering mengalami dengan depresi, gangguan stres pascatrauma, atau kesulitan mengatur emosi.
Ziegler mengatakan bahwa untuk kasus digital self-harm, tidak semua dari mereka memiliki penyakit kejiwaan. Tetapi bukan berarti perilaku mereka harus dianggap enteng.
Psikolog anak tersebut menambahkan, mirip dengan remaja yang melukai diri sendiri dengan menyayat diri, mereka yang melakukan digital self-harm sering menderita secara diam-diam, merasa seperti mereka tidak punya teman, atau orang dewasa untuk diajak curhat.
Laman VICE melaporkan, Patchin mengatakan bahwa orangtua harus menyadari bahwa kasus cyberbullying sebenarnya bisa merugikan diri sendiri secara digital. Dia juga menambahkan bahwa digital self-harm masih sebuah fenomena yang kurang diteliti.
"Penegak hukum harus mau mempertimbangkan gagasan tersebut, dan merespons dengan tepat. Jangan sampai tindakan ini dibiarkan dan hanya dianggap sebagai hoaks agar para remaja tersebut mendapatkan perhatian. Harus disadari bahwa dalam kasus digital self-harm, ada remaja yang mencari bantuan," tutup Patchin. (lev)
*Depresi jangan dianggap enteng. Jika Anda pernah memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Baca juga:
Bagikan
Ananda Dimas Prasetya
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, Alasanya Tambah Jumlah Peserta Penerima Bantuan Iuran
