Tuntut Hukum Mati Terdakwa Asabri, Guru Besar Unpad: Jaksa Terlampau Tendensius

Senin, 13 Desember 2021 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Kasus dugaan korupsi PT Asabri yang mulai diadili, menuai sorotan setelah Jaksa Penuntut Umum, menuntut hukuman mati pada salah satu terdakwa dengan alasan keuangan negara Rp 22,78 triliun. Padahal, akan ada dampak jika kemudian hari audit BPK ini terbukti tidak benar.

"Itulah bahayanya hukuman mati, hati-hati! Bahwa di kemudian hari orang ini ternyata terbukti tidak bersalah, tapi orang terlanjur mati. Ini suatu penegakan hukum yang kejam betul, zalim namanya. Orang sudah mati mau diapain? Makanya, hati-hati banget menerapkannya!" Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, I Gde Pantja Astawa.

Baca Juga:

Polemik Kasus Asabri, Andi Hamzah: Yang Dituntut Harus Sesuai Surat Dakwaan

Ia menilai, tuntutan hukuman mati hanyalah sebuah agenda mencari panggung Kejaksaan Agung.

"Jaksa terlampau tendensius. Dari sisi keadilan betul yang merugikan keuangan negara bisa dihukum mati. Tapi kita persoalkan dulu, betulkah mereka ini mengauditnya?” ucap Gde dalam keteranganya, Senin (13/12).

Gde menilai, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam kasus PT Asabri yang berujung pada tuntutan hukuman mati oleh jaksa kepada Heru Hidayat, tidak tepat karena kasus Asabri bukanlah persoalan kerugian keuangan negara.

"Dari sisi mana dikatakan sebagai keuangan negara. Atas dasar apa BPK masuk mengaudit, kalau dana Asabri ini berasal dari iuran anggota TNI-Polri? Apa tepat yang diperiksa BPK itu keuangan negara?" kata Prof Gde kepada wartawan saat dihubungi, Kamis 9 Desember 2021.

Ia menjelaskan, bahwa bentuk hukum dari Asabri ini adalah sebagai sebuah perseroan terbatas (PT), sehingga tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam pengelolaannya memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tersendiri.

Sebagai sebuah PT, kata ia, ada prinsip-prinsip yang berlaku di dalam pengelolaan keuangan Asabri. Bila core atau inti bisnisnya adalah bermain dalam saham yang fluktuatif, tentu saja itu merupakan kebijakan perusahaan dan tidak terkait pada kerugian keuangan negara.

Menurutnya, saham ataupun reksadana yang fluktuatif, itu belum dapat dipastikan nilainya karena terus bergerak naik dan turun. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pengertian kerugian keuangan negara, yakni kekurangan uang, barang dan surat berharga yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.

"Namanya saham ini kan fluktuatif, bagaimana kita bisa memastikan itu kerugian keuangan negara? Ini satu hal yang ganjil menurut saya," ujar Prof Gde.

Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/12). ANTARA/Desca Lidya Natalia
Caption

Gde menegaskan, bahwa BPK tidak boleh secara sepihak melakukan audit. Orang atau pihak yang diaudit, haruslah dimintai konfirmasi bila terjadi dugaan penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

"Itu prinsip lho! Kalau berkenaan dengan keuangan negara. Tapi, ini kan gak ada urusannya dengan keuangan negara. Saya menilai ngawur ini BPK, kalau yang diaudit itu berkenaan dengan jual beli saham dan reksadana," ucapnya.

Prof Gde menjelaskan, PT Asabri ini selain berada di bawah UU PT, juga tunduk pada UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang bila terdapat sebuah kasus, maka ada penyelesaiannya tersendiri.

"Pasar modal itu ada penyelesaiannya tersendiri, meskipun dalam UU Pasar Modal ada klausul pidana, tapi larinya bukan ke korupsi. Kita harus objektif melihat ini. Jadi ini sesuatu yang debatable audit BPK ini, apalagi sudah dipublikasi dan menjadi kontroversial ini," ungkapnya. (*)

Baca Juga:

Tuntutan Hukuman Mati Kasus Asabri Diyakini Tak Akan Dipertimbangkan Hakim

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan