Proyek Tambang Nikel di Raja Ampat Berpotensi Langgar HAM, Bisa Picu Konflik Horizontal

Jumat, 13 Juni 2025 - Soffi Amira

MerahPutih.com - Komnas HAM akhirnya angkat suara terkait adanya tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Mereka juga menyebutkan, pertambangan nikel itu berpotensi melanggar HAM, khususnya di bidang lingkungan hidup.

"Berpotensi sangat kuat menimbulkan adanya pelanggaran HAM, terutama di bidang lingkungan hidup," kata Ketua Komnas HAM RI, Anis Hidayah kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (13/6).

Anis menegaskan, bahwa Komnas HAM menaruh atensi serius terhadap kasus ini.

Baca juga:

Kapal Tambang Nikel Raja Ampat Pakai Nama JKW dan Iriana, Jokowi Dukung Izinnya Dicabut

Pihaknya juga akan turun langsung untuk memantau dan menyelidiki pertambangan nikel di Raja Ampat pada pekan depan.

"Dari pemantauan itulah nanti kami akan mendapatkan fakta-fakta informasi lebih lanjut tentang seluruh proses bagaimana situasi di sana, kondisi masyarakat dan proses perizinan dan lain-lain," tutur Anis.

Berdasarkan data dan fakta awal, Komnas HAM mendapati bahwa terdapat enam pulau kecil di Raja Ampat yang menjadi lokasi penambangan nikel.

Tambang tersebut dimiliki lima perusahaan, yakni PT Gag Nikel (Pulau Gag), PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawei), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Nurham (Pulau Waigeo), dan PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun).

Baca juga:

Reaksi PBNU saat Tahu Pengurusnya Jadi Komisaris Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat hingga Dituding Terima Uang

Berdasarkan lima perusahaan pemilik izin usaha pertambangan (IUP) tersebut, empat di antaranya telah melakukan aktivitas penambangan.

Sementara satu perusahaan lainnya, yakni PT Nurham, disebut belum melakukan aktivitas apa pun di Pulau Waigeo.

Anis menambahkan, bahwa kerusakan lingkungan hidup bertentangan dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hal ini sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Baca juga:

Penghentian Aktivitas Tambang di Raja Ampat Buka Pintu Pertumbuhan Ekonomi Lokal yang Lebih Sehat

Menurut Komnas HAM, keenam pulau itu termasuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya tidak digunakan untuk aktivitas pertambangan, seperti diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Anis menyebutkan, kerusakan lingkungan yang luas dan konflik sumber daya alam juga berpotensi menimbulkan konflik sosial secara horizontal, yakni antara masyarakat yang pro dengan pertambangan dan masyarakat yang kontra.

Komnas HAM juga menyoroti empat izin usaha pertambangan (IUP) yang telah dicabut pemerintah pada pekan ini.

Empat IUP tersebut dimiliki PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Pencabutan IUP disebut Komnas HAM sebagai langkah maju untuk menghentikan perusakan lingkungan hidup.

Namun, upaya tersebut dinilai perlu diikuti dengan langkah-langkah konkret pemulihan hak-hak masyarakat setempat, termasuk restorasi bekas lokasi tambang.

Selain itu, imbuh Anis, kerusakan lingkungan yang luas dan konflik sumber daya alam juga berpotensi menimbulkan konflik sosial secara horizontal, yakni antara masyarakat yang pro dengan pertambangan dan masyarakat yang kontra. (knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan