Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Pimpinan Komisi XIII DPR Singgung Pelanggaran HAM Orde Baru
Gedung DPR RI. (Foto: MerahPutih.com/Dicke Prasetia)
MerahPutih.com - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menyoroti keputusan Pemerintah yang menganugerahi gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Ia pun menyinggung soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di masa kekuasaan rezim Orde Baru, pemerintahan Soeharto.
Andreas menegaskan, bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh-tokoh bangsa merupakan bagian penting dari upaya menjaga kesinambungan sejarah dan membangun kebanggaan nasional.
“Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut figur publik dengan catatan sejarah pelanggaran HAM seperti Soeharto harus ditempatkan dalam kerangka objektivitas moral dan etik bernegara demi menjaga harkat dan martabat pendidikan kebangsaan,” kata Andreas, Senin (10/11).
Terkait pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, Andreas menekankan bahwa proses penetapan Pahlawan Nasional harus berjalan secara transparan, inklusif, dan berbasis pada kriteria objektif yang diatur dalam undang-undang.
Baca juga:
Klaim tak Ada Bukti Pelanggaran HAM, Fadli Zon Justru Ungkit Jasa Besar Soeharto untuk Indonesia
“Masyarakat berhak mengetahui bagaimana sebuah nama diajukan, apa kontribusi yang menjadi dasar pengakuan, dan sejauh mana peran tersebut memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi bangsa dan negara,” ungkapnya.
Andreas juga mengatakan, Pemerintah perlu memastikan prosesnya terbuka dan akuntabel agar tidak menimbulkan tafsir politis.
“Jangan sampai pemberian gelar Pahlawan Nasional hanya demi kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu karena akan mencederai rasa keadilan bagi rakyat Indonesia,” sebut Andreas.
Pimpinan Komisi HAM DPR ini pun mengingatkan pentingnya semua pihak memperhatikan jejak sejarah. Andreas kemudian menyinggung tentang banyaknya tudingan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto, baik sebelum dan selama ia menjabat sebagai Presiden puluhan tahun lamanya.
“Pahlawan Nasional bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi cermin nilai dan arah moral bangsa. Karena itu, setiap keputusan negara dalam memberikan penghargaan ini harus mempertimbangkan semangat persatuan, rekonsiliasi, dan pembelajaran bagi generasi muda,” tutur Legislator dari Dapil NTT I itu.
Baca juga:
Jusuf Kalla soal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Ada Kekurangan, tapi Jasanya Lebih Banyak
“Kita tidak boleh lupa bahwa Soeharto punya jejak sejarah kelam, yang sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya dalam hal pelanggaran HAM dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) selama ia memimpin negeri ini,” imbuhnya.
Kemudian, Andreas menyinggung sejumlah kasus pelanggaran HAM yang ditudingkan kepada Soeharto. Hal ini berdasarkan laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang juga menyebut setelah Orde Baru berakhir pada 1998, tuntutan untuk mengungkap dugaan terjadinya pelanggaran berat HAM masa lalu banyak bermunculan.
Setidaknya, ada 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto saat berkuasa menurut catatan Kontras.
Pertama, tindakan kejahatan kemanusiaan di Pulau Buru pada 1965-1966 saat Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang disingkat Pangkoops Pemulihan Kamtub.
Sebagai Panglima Kopkamtib, Soeharto diduga telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke Pulau Buru.
Baca juga:
Kedua adalah dugaan kebijakan penembakan misterius sepanjang 1981-1985 sebagai bentuk ‘hukuman mati’ tanpa melewati proses pengadilan.
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung.
Lalu, ada juga peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru.
Akibat dari kebijakan ini, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan buntut Peristiwa Tanjung Priok 1984.
Pelanggaran HAM berat Soeharto lainnya berdasarkan catatan Kontras adalah Kebijakan represif terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem dengan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987.
Akibat kejadian ini, 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 53 orang terampas kemerdekaanya, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
Kemudian, pelanggaran HAM dalam pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) dan DOM Papua (1963-2003), yang mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa.
Sejumlah insiden pada DOM Papua seperti Teminabun 1966-1967, peristiwa Kebar 1965, hingga Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985, di mana terjadi pembantaian di 17 desa. Dua kebijakan DOM Soeharto menyebabkan banyak korban berjatuhan.
KontraS pun turut mencatat kerusuham 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang merupakan serangan oleh pasukan pemerintah Indonesia pada kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta.
Pada Peristiwa 27 Juli, Soeharto memandang Megawati Soekarnoputri sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru.
Soeharto hanya menerima DPP PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan yang diduga berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati itu, yang menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan.
Tiga kasus pelanggaran HAM Soeharto berdasarkan laporan Kontras adalah Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998 yang melibatkan Tim Mawar, Peristiwa Trisakti 1998 yang menyebakan 4 mahasiswa tewas tertembak peluru aparat keamanan, dan kerusuhan 13–15 Mei 1998, yang merupakan rangkaian dari kekerasan dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.
Pada kerusuhan Mei 1998 terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu. Kejadian ini menjadi tonggak sejarah lahirnya reformasi dan jatuhnya kepemimpinan Soeharto.
Melihat berbagai rentetan kasus pelanggaran HAM itu, Andreas menilai Soeharto tidak sepatutnya mendapat gelar kehormatan Pahlawan Nasional.
“Ini baru sedikit laporan dari Kontras. Kita belum berbicara soal kasus-kasus hukum lainnya, termasuk mengguritanya praktik KKN di era Orde Baru. Belum lagi kita bicara soal rezim diktator yang menumpas kebebasan berekspresi dan menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami penderitaan panjang,” sambungnya.
Andreas mengatakan, ia mendukung penghargaan bagi siapa pun yang telah berjasa bagi bangsa dan negara.
“Tapi penghormatan harus memperkuat keutuhan sejarah, bukan memunculkan luka lama,” tegas Andreas.
Lebih lanjut, Andreas meyebut bahwa penghargaan semacam ini seharusnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun kesadaran baru tentang nilai-nilai perjuangan yang relevan bagi masa depan Indonesia.
“Pahlawan nasional bukan hanya soal masa perjuangan kemerdekaan, tapi juga simbol moral bangsa,” ucapnya.
Sementara di era modern, Pahlawan Nasional disebut harus bisa mencerminkan perlawanan terhadap tantangan bangsa meliputi kemiskinan, korupsi, disinformasi, dan ketimpangan sosial.
“Lantas apakah Soeharto merepresentasikan simbol-simbol perlawanan terhadap tantangan-tantangan tersebut, atau justru sebaliknya?” imbuhnya.
Politikus PDIP ini pun mengingatkan bahwa bangsa yang besar bukan bangsa yang menutupi masa lalunya, tetapi yang berani belajar dari seluruh lapisan sejarahnya.
“Menghargai jasa tokoh bangsa harus dilakukan dengan semangat refleksi dan tanggung jawab, bukan glorifikasi!” tandasnya. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Pimpinan Komisi XIII DPR Singgung Pelanggaran HAM Orde Baru
Klaim tak Ada Bukti Pelanggaran HAM, Fadli Zon Justru Ungkit Jasa Besar Soeharto untuk Indonesia
Momen Presiden Prabowo Subianto Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara
Jusuf Kalla soal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Ada Kekurangan, tapi Jasanya Lebih Banyak
Kakak Marsinah Titip Pesan Kepada Presiden Prabowo Subianto: Hapus Total Sistem Outsourcing
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Cederai Semangat Antikorupsi, Pembelokan Sejarah Reformasi
Jasa Besar Gus Dur sebagai Bapak 'Pluralisme' Indonesia: dari Penghapusan Diskriminasi hingga Gelar Pahlawan Nasional
Dari Penumpas G30S PKI hingga Pahlawan Nasional: Jejak Perjuangan Sarwo Edhie Wibowo
SBY & Jokowi Berkuasa Tak Dikabulkan, Keluarga Cendana Bersyukur Akhirnya Prabowo Angkat Soeharto Pahlawan Nasional
Haru Keluarga Marsinah, Ucapkan Terima Kasih kepada Prabowo atas Gelar Pahlawan Nasional