Politikus PKS Usul Perampasan Aset Disatukan Dengan Revisi Undang-Undang KPK, Hindari Aparat Gunakan Sebagai Alat Pemerasan

Sabtu, 06 September 2025 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - RUU Perampasan Aset menjadi salah satu tuntutan masyarakat kepada DPR untuk segera dibahas dan disahkan.

Seperti yang ramai disuarakan di media sosial, RUU ini bagian dari transparansi anggaran anggota DPR menjadi salah satu dari 17+8 Tuntutan Rakyat: Transparansi. Reformasi. Empati.

17+8 Tuntutan Rakyat adalah rangkaian desakan dari masyarakat terhadap pemerintah dan DPR yang dibagi menjadi dua kategori yakni: 17 tuntutan jangka pendek yang harus diselesaikan paling lambat 5 September 2025 dan 8 tuntutan jangka panjang yang ditargetkan tuntas hingga 31 Agustus 2026.

Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tidak boleh dilepaskan dari upaya besar pemberantasan korupsi di Indonesia.

Baca juga:

RUU Perampasan Aset Masih Usulan Pemerintah, DPR Pertimbangkan untuk Ambil Alih

"Saya ingin menggarisbawahi, RUU Perampasan Aset harus dalam satu ekosistem besar pemberantasan korupsi. Karena itu, RUU ini bisa disatukan dengan revisi Undang-Undang KPK. Kalau itu rumit, minimal poin-poinnya dimasukkan ke dalam RUU yang akan dibahas ini,” kata Mardani di Jakarta, Sabtu (6/9).

Menurutnya, pengalaman sejumlah negara yang sukses menerapkan aturan serupa bisa menjadi rujukan bagi Indonesia. Apalagi, pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset sudah bergulir sejak 2018, namun hingga kini belum juga disahkan.

“Waktu itu inisiatifnya datang dari pemerintah. Ada tujuh lembaga yang menandatangani, mulai dari Kapolri, Kejaksaan, Kementerian Keuangan, hingga BPK. Jadi sebenarnya ini pekerjaan besar yang semestinya bisa segera dituntaskan,” ujarnya.

Mardani menilai, momentum saat ini tepat untuk menyempurnakan substansi RUU tersebut.

Ia mengingatkan agar penyusunan norma hukum dilakukan secara cermat agar tidak menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan.

"Saya agak khawatir kalau drafting dan penormaannya tidak tajam. Jangan sampai, maaf, pagar makan tanaman. Aparat yang tidak punya integritas justru memanfaatkan ini sebagai alat pemerasan. Karena itu, asas praduga tak bersalah, rule of order, dan mekanisme pengadilan harus betul-betul dijaga. Pengadilan harus menjadi rujukan terakhir kita," katanya. (Pon)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan