Meski Tak Sejalan Dengan Kebijakannya, Umar Kayam Tetap Maksimal Memerankan Soekarno
Sabtu, 30 September 2017 -
SOSOK Soekarno tak lagi gagah dan parlente. Si Bung Besar tak nampak menggunakan baju safari berkantung empat dan peci hitam. Meski di istana, presiden pertama RI tersebut justru tampil sederhana bekaos putih dengan tubuh semakin besar dan beralis hitam tebal.
Begitulah sosok Soekarno di film Pengkhianatan G30S/PKI diperankan budayawan Umar Kayam. Muka Umar Kayam atau Soekarno terbilang sedikit tampil, jauh bila dibandingkan intensitas Amoroso Katamsi memerankan Soeharto, terlebih pada penumpasan pasukan penculik jendral.
Pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932, sebagaimana dikutip Majalah Tempo, “Sang Dirjen, di Belakang dan di Muka Layar,” 5 Mei 2002, mengaku bersedia berperan sebagai Soekarno lantaran berteman dekat dengan sang sutradara Arifin C Noer.
Uka dikenal luas sebagai novelis dan cerpenis. Novel bertajuk Sang Priyayi melambungkan namanya di jajaran atas sastrawan tanah air. Dia pun memiliki peran penting di dunia akademis, sebagai Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Uka, sapaan Umar Kayam, saat menjabat sebagai Direktur Jendral Radio, Televisi, dan Film (1966-1969) pernah berselisih pendapat dengan Soekarno atas larangan mendatangkan film Hollywood dan Eropa ke tanah air.
Ketika Orde Baru, Uka kemudian membuka kran film Hollywood dan Eropa mengisi bioskop-bioskop Nusantara.
Kendati tak seiring sejalan dengan kebijakannya, Uka tetap total mendalami peran sebagai Bung Besar. Dia bahkan rela memotong rambutnya hampir botak agar mirip dengan Seokarno.
Tampilan itu pun cukup mendukung perannya, dan para pelayan Istana Bogor terkesiap dengannya karenan penampakannya mirip sekali Soekarno. Uka, sebagaimana laporan Majalah Tempo, “Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah,” 7 April 1984, tak kapok untuk memerankan kembali Soekarno di film-film lain. (*)