Komnas HAM Sebut Restorative Justice tak Boleh Dipakai untuk Kasus HAM Berat dan TPKS

Senin, 22 September 2025 - Soffi Amira

MerahPutih.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, meminta agar penerapan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibatasi secara tegas.

Pada rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/9), alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menekankan, bahwa RJ berpotensi disalahgunakan untuk melahirkan impunitas, terutama pada kasus pelanggaran HAM berat.

“Tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) termasuk terorisme, korupsi, narkotika, serta kejahatan berat dengan ancaman pidana di atas 5 tahun tidak boleh diselesaikan dengan mekanisme restoratif justice,” tegasnya.

Ia juga menyebut tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU Nomor 12 Tahun 2022 masuk dalam kategori pengecualian. Menurutnya, hal itu penting mengingat kerugian dan dampak signifikan yang dialami korban TPKS.

Baca juga:

PBB Soroti Potensi Pelanggaran HAM di Indonesia, Kemlu RI: Segera Ditangani sesuai Mekanisme Hukum

Lebih lanjut, pendiri Migrant Care ini menilai penggunaan restorative justice memiliki potensi penyalahgunaan.

“RJ bisa menjadi jalan pintas untuk kasus transaksional. Karena itu, perlu ada aturan teknis yang jelas dalam bentuk peraturan pemerintah agar pelaksanaan RJ terukur,” katanya.

Komnas HAM juga menegaskan, bahwa RJ tidak boleh diterapkan pada kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Anis, hal itu berisiko melahirkan impunitas yang justru bertentangan dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas.

Selain itu, Anis turut menyoroti perlindungan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban.

Ia mendorong adanya jaminan hak memberi keterangan tanpa harus berhadapan langsung dengan terdakwa, khususnya pada kasus kekerasan atau yang melibatkan pihak rentan. Hak privasi, perlindungan data pribadi (PDP), hak atas pendampingan hukum, serta hak memperoleh informasi perkembangan kasus juga harus dijamin.

Baca juga:

DPR Singgung 5.626 Kasus Keracunan MBG, Desak Pemerintah Alihkan Wewenang ke Sekolah

“Saksi kerap mengalami intimidasi jika berhadapan langsung dengan terdakwa. Karena itu, penggunaan video conference atau ruang terpisah harus diperluas,” ujarnya.

Lebih jauh, Anis mengingatkan soal potensi kebocoran data pribadi dalam proses peradilan.

“Kebocoran data pribadi harus diantisipasi dengan sanksi tegas, sesuai dengan prinsip perlindungan yang juga relevan dengan General Comment 16 ICCPR,” pungkasnya. (Pon)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan