Keadilan Restorative Hanya Buat Tindak Pidana Ringan, Tapi Korban Harus Diperhatikan
Rabu, 24 September 2025 -
MerahPutih.com - Pemerintah dan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Salah satu isu adalah mekanisme keadilan restoratif diterapkan pada pidana.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menilai, keadilan restoratif lebih baik diberikan pada tindak pidana ringan.
"RUU KUHAP perlu mengatur ini termasuk jenis dugaan tindak pidana apa yang bisa diberikan mekanisme keadilan restoratif," tutur Najih dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta.
Ia menegaskan, untuk tindak pidana berat, tidak bisa diberikan mekanisme keadilan restoratif.
Baca juga:
Peneliti dari Universitas Cambridge Ahmad Novindri Aji Sukma menilai, pemberian keadilan restoratif perlu dibatasi hanya untuk tindak pidana yang ringan, dimediasi oleh mediator bersertifikat, dan hasil kesepakatannya disahkan oleh jaksa atau hakim.
Keadilan restoratif merupakan konsep penting yang bisa mengurangi beban perkara atau memberi ruang pemulihan, namun tanpa batasan yang jelas, keadilan restoratif bisa menjadi sarana untuk menutup perkara tanpa memberikan keadilan bagi korban.
Restitusi korban juga harus menjadi komponen yang wajib beserta publikasi ringkas hasil keadilan restoratif yang diperlukan untuk akuntabilitas.
"Dengan ini, kita dapat melindungi kepentingan korban sekaligus menjaga integritas proses hukum," ungkap Ahmad.
Ahmad mencontohkan skema yang ada di Amerika Serikat, yang dikenal dengan mekanisme Perjanjian Penundaan Penuntutan atau Diverse Prosecution Agreement (DPA)/Non-Prosecution Agreement (NPA), khususnya untuk kasus korporasi.
Dalam skema itu, perusahaan yang terlibat pidana dapat mengakui kesalahan, membayar denda, memperbaiki tata kelola, serta menjalankan program kepatuhan atau compliance. Jika syarat dipenuhi, penuntutan dapat dihentikan.
Ahmad mengungkapkan mekanisme tersebut merupakan bentuk keadilan restoratif berbasis korporasi yang menekankan pada pemulihan transparansi dan reformasi kelembagaan, bukan semata-mata hanya penghukuman. (*)