AJI Desak DPR Hapus Pasal di RUU KUHP dan ITE yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers

Selasa, 05 Oktober 2021 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui empat rancangan undang-undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada rapat paripurna, Kamis (30/9). Dua di antaranya adalah RUU KUHP dan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat terdapat lebih dari dua puluh pasal yang mengancam kebebasan pers dan dapat mengkriminalkan jurnalis dalam menjalankan fungsinya, serta mengancam demokrasi.

Baca Juga

Pakar Hukum Nilai Pasal Santet di RUU KUHP tidak Jelas

Di antaranya Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti.

Kemudian, Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

"Sedangkan UU ITE masih menjadi momok kekerdekaan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia," kata Ketum AJI Sasmito Madrim kepada wartawan, Selasa (5/10).

Sasmito menuturkan, delapan pasal bermasalah yang membelenggu ruang kebebasan berekspresi. Beberapa di antaranya yaitu: Pertama, Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi atau pencemaran nama baik. Pasal ini menjerat Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin pad 24 Agustus 2020 dan Tuah Aulia Fuadi, jurnalis Kontra.id di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Kedua, Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi, divonis 3 bulan 15 hari penjara karena beritanya berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel", dinilai menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.

Ketiga, Pasal 40 ayat (2b). Pasal ini memberikan kewenangan pada pemerintah melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan
kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Pasal ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Pers dan menunggu putusan majelis hakim.

Sasmito mendesak DPR dan pemerintah menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dalam RUU KUHP dan RUU ITE.

Sejumlah pasal dalam kedua RUU tersebut membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan.

Antara lain mengatur soal tindakan-tindakan seperti: “menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum”.

Bahwa semua tindakan itu merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu “menginformasikan kepada khalayak luas”.

"Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari," sebut Sasmito.

Ia juga mendesak DPR dan pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat dan transparan dalam pembahasan RUU KUHP dan RUU ITE. Pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.

Aliansi Jurnalis Independen

Ia melihat, selama ini, pelibatan masyarakat hanya bersifat ceremonial belaka dan tidak diberikan waktu yang cukup dalam memberi masukan. Akibatnya, komunikasi terkait pembahasan RUU menjadi satu arah, tanpa ada timbal balik dari masyarakat.

"Ini seperti kegiatan penyempurnaan RUU KUHP yang digelar pemerintah di Jakarta pada 14 Juni 2021 lalu yang tidak memberikan waktu kepada masyarakat untuk memberikan masukan," jelas Sasmito.

Ia juga menyoroti ketentuan dalam RUU KUHP yang menyentuh persoalan etika, misalnya tentang kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 263).

Pasal ini berbenturan dengan isi dalam UU Pers (Pasal 15) yang menghendaki agar narasumber yang merasa liputan media tidak benar, menggunakan hak jawabnya.

"Berdasarkan UU Pers, media wajib membuat hak jawab dari narasumber, sementara RUU KUHP tidak mengakomodasi mekanisme pemberian hak jawab ini," jelas dia.

Ia menambahkan, pasal lain yang tidak sesuai dengan UU Pers adalah pasal mengenai pemberitaan terhadap suku, golongan atau agama.

Dalam menghadapi masalah ini, UU Pers lebih mengedepankan penyelesaian sengketa lewat jalan mediasi (hak jawab atau Dewan Pers) bukan dengan hukuman pidana.

"Sebab delik pers yang berkaitan dengan masalah ini seharusnya ditempatkan sebagai masalah etika, bukan malah ditempatkan sebagai sebuah kejahatan," tutup Sasmito. (Knu)

Baca Juga

Pakar Nilai Pemidanaan Polisi Salah Tangkap Perlu Dimasukkan ke RUU KUHP

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan