Awas "Jebakan" Paylater! Pergi Sekarang, (Jangan) Bayar Nanti-nanti
Jumat, 12 Juli 2019 -
DUA tas jinjing besar coklat dibiarkan tak terkancing. Melompong di sudut ruang tamu. Di sampingnya, masih bersusun rapi baju, lalu handuk, sekantung alat mandi, dan kosmetik. Gista (bukan nama asli), empunya rumah, urung menata semua bekal ke dalam tas lantaran batal berangkat ke Malang.
Semestinya, dua hari lagi (8/7), menurut rencana dua bulan silam, ia dan suami akan mengajak kedua keponakannya berlibur merayakan kenaikan kelas dari 7 ke 8. Berencana mengujungi kawasan Batu dan Bromo, Jawa Timur.
Namun, rencana itu kandas lantaran dana liburan terpaksa digunakan untuk keperluan lain nan lebih mendesak. Semula, dia begitu percaya diri bisa berlibur serampung berhasil mendaftar Traveloka Pay Later. "Lumayan kan dapet limit Rp 4 juta," kata Gista bercerita kepada MerahPutih.com.
Karyawan sebuah perusahaan swasta di bidang jasa pendidikan ini merasa semua kebutuhan selama liburan, seperti tiket kereta, sewa mobil, hotel sampai voucher makan bisa dinikmati melalui fasilitas Pay Later dengan skema: bayar belakangan.
”Makanya enggak mikir panjang. Langsung deh bikin schedule. Juga pas banget kan liburan sekolah," ujarnya.
Gista telah hitung matang tabungannya tak akan terpakai bahkan seperempatnya selama liburan karena mengandalkan layanan Pay Later. Namun, rencana itu buyar ketika ia beroleh kabar adik perempuannya tak berhasil terdaftar di sekolah negeri pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tahap kedua.
Tak ada jalan lain, ia harus menguras tabungannya untuk keperluan biaya pendaftaran sekolah swasta untuk adiknya dan perlengkapan penunjang belajar.
Meski tabungannya menyusut, dia sejatinya masih bisa melanjutkan berlibur dengan hanya mengandalkan Pay Later. "Tapi riskan banget. Trus denger dari cerita temen, banyak orang enggak mampu nyicil malah jadi beban," keluhnya. Ia lantas membatalkan liburan dan tidak berani menggunakan Pay Later sama sekali.
BACA JUGA: Aplikasi Ini Tawarkan Promo Cicilan Kredit Hanya Rp 1.000
Demi mengobati kekecewaan, terutama kepada kemenakannya, Gista kemudian mengajak mereka makan di restoran ayam goreng cepat saji. "Biar aja liburan cuma makan. Daripada ngikutin gengsi malah buntung di belakang. Bahaya!"
TERGIUR CERITA TEMAN

Ilustrasi. (skeeze/Pixabay)
Gista mengaku kali pertama tahu informasi Pay Later dari Desi, seorang teman dekatnya. Ia terpikat dengan penjelasan Desi, karena seakan semua kebutuhan liburan jadi gampang dan sama sekali tak membebani anggaran sehari-hari. "Modalnya cuma KTP," katanya menirukan rayuan Desi.
Pay Later, seturut laman resmi Traveloka, merupakan fasilitas keuangan dari Traveloka nan memungkinkan pengguna menggunakan metode pembayaran dengan cicilan 1-12 bulan tanpa kartu kredit.
Metode pembayaran tersebut, lanjutnya, berlaku untuk semua produk di Traveloka, kecuali pembayaran tagihan dan produk konektivitas.
Traveloka menjamin pandaftaran Pay Later bebas repot. Calon pendaftar hanya perlu KTP dan satu dokumen pendukung. Setelah diproses dan diverifikasi, pendaftar akan menerima limit pinjaman hingga Rp 10.000.000 hanya dalam satu jam kerja.
Enggak heran slogan "Traveling dulu, bayar nanti" milik Traveloka menarik banyak orang untuk mendaftar Pay Later. Termasuk Gista.
Beberapa hari setelah bertemu dan mendengarkan cerita Desi, ia langsung mempraktikannya. "Eh enggak nunggu lama langsung di-approve,". Saking senangnya, Gista langsung mengirim emoticon tertawa lepas dan membubuhkan tulisan "Gue dapet nih Des. Bener gampang!” tulisnya melalui pesan Whatsapp.
Mereka kemudian semakin sering berbincang via Whatsapp. Desi, menurutnya, sering mengirim foto-foto dirinya lagi makan dan liburan di suatu daerah.
Di tengah obrolan, terkadang sang teman mengajak untuk traveling bersama-sama. "Yaelah ga usah pusing. Pake Pay Later aja keleus,” rayu Desi. Mereka hampir sepakat melepas satu tanggal di akhir pekan bersama ke daerah Puncak, Kabupaten Bogor.
Namun, beberapa minggu sebelum berangkat, tiba-tiba Desi bercerita cukup panjang tentang ulah seorang teman lainnya. "Gara-gara dia, Pay Later gue enggak bisa dipake".
Status Pay Later Desi, menurut Gista, ditangguhkan karena tidak membayar cicilan tepat waktu.
Desi, lanjutnya, sempat meminjamkan fasilitas Pay Later kepada seorang teman karena asas pertemanan. Telah saling percaya dan kenal dekat.
Teman tersebut, menurut Gista, menggunakan Pay Later untuk membeli tiket pesawat pulang-pergi seharga sekira dua juta rupiah dengan skema cicilan enam bulan.
Di cicilan ketiga, teman tersebut tak ada kabar untuk bisa melakukan pelunasan. "Ya ngilang aja gitu," kata Gista menuturkan cerita Desi. Hal itu membuat Desi kesal dan tak mau menanggung pembayaran sang teman. Alhasil, status Pay Later-nya ditangguhkan alias tidak bisa dipakai.
Tak berhenti sampai di situ. Tunggakan itu pun berbunga dan tiap hari jumlahnya bertambah. Pay Later Traveloka mematok bunga sebesar 2,14 persen 4,78 persen per-bulan dari nilai transaksi.
Dengan menyanggupi persetujuan kesepakatan di awal tersebut, Desi tak bisa menolak dengan alasan akunnya dipinjam orang lain. Ia musti melunasi tunggakan atau menanggung segala risiko sesuai ketentuan aspek hukum Financial Technology (Fintech) di Indonesia.
Memang, meskipun menyuguhkan kemudahan, Pay Later sejatinya berpotensi menimbulkan masalah. Tak sedikit orang yang terjebak lantaran mendapatkan fasilitas berutang secara mudah dan cepat. Tanpa syarat yang rumit.
Seperti kata pepatah: tak ada makan siang yang gratis, berutang secara mudah dan cepat itu juga ada biayanya. Misalnya biaya cicilan dan bunga. Dan yang lebih mengerikan adalah denda ketika tak membayar tagihan tepat waktu. Jika kamu terlena dengan kemudahan itu dan tidak menggunakannya secara bijak, maka kamu pun bisa terperosok pada jebakan Pay Later
Apa sih sebenarnya Pay Later itu?
PRIMADONA BARU HUTANG ONLINE
Pay Later, terutama Traveloka, kali pertama muncul pada Juni 2018. Ide tersebut, menurut Senior Vice President Financial Products Traveloka Alvin Kumarga seperti dikutip techinasia.com, datang dari keluhan konsumen nan ingin membeli tiket pesawat atau memesan hotel namun dengan skema cicilan.
Bertolak dari permintaan tersebut, pihak Traveloka pada sekira akhir tahun 2017 menggodok formulasi ide itu hingga akhirnya tercuat nama produk layanan Pay Later. "Sejak awal kami tidak mau menimbulkan kesan 'utang' yang mempunyai stigma buruk di masyarakat. Karena itu kami berusaha mencari kata atau istilah yang mempunyai kesan positif tanpa menghilangkan maksud dari fitur ini," kata Alvin dikutip techinasia.com.

Pihak Traveloka sebagai stratup travel berbasis daring kemudian menggandeng layanan peer to peer (P2P) lending, Danamas, yang sudah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Seperti dilansir Okezone.com, Danamas sendiri merupakan financial service di bawah naungan Sinarmas yang sudah tak diragukan lagi keamanannya.
Mereka mengklaim selain transaksi yang terlindungi, data privasi pengguna Traveloka Pay Later juga dijamin keamanannya.
Di awal berjalan tahun, Pay Later Traveloka tak banyak dilirik para pengguna. Menurut Alvin, butuh waktu lama dan usaha besar untuk mengembangkan dan mengomunikasikan produk tersebut kepada masyarakat luas kalau Pay Later aman, bisa membantu, dan terpercaya.
Sejak kali pertama muncul hingga akhir tahun 2018, menurutnya, pengguna Pay Later telah meningkat sekitar puluhan persen per-bulannya.
Kemunculan Pay Later Traveloka kemudian memancing beragam penyedia jasa uang online maupun stratup lainnya mengeluarkanjasa serupa. Tercatat, aplikasi Go-Jek, OVO, Tiket.com, dan Kredivo membuka layanan Pay Later kepada pelanggannya.
Serupa Traveloka, mereka pun menggandeng perusahaan keuangan online P2P Lending. Bedanya, ada beberapa penyedia menghubungkan pengguna dengan merchant lain dengan sistem terintegrasi, seperti Kredivo.
Kepada merahputih.com, Head of Marketing Kredivo Indina Andamari mengklaim Kredivo mematok bunga lebih rendah dibanding layanan serupa.
Kredivo membagi penggunan ke dalam dua tipe akun; Basic dengan pinjaman hingga tiga juta dan Premium berlimit mencapai 30 juta. Bunga untuk tenor 30 hari sebesar 0 persen, sedangkan cicilan 3, 6, dan 12 bulan 2,95% per bulan.
Bagus lebih lanjut menjelaskan latas belakang Kredivo meluncurkan Pay Later. Kata dia, Indonesia sejatinya punya pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat. Bahkan termasuk yang terpesat di dunia.
“Tapi, pertumbuhan ini tidak sejalan dengan infrastrukturnya. Kurangnya pilihan metode pembayaran yang relevan untuk transaksi digital ditambah dengan minimnya penetrasi kredit di Indonesia membuat banyak transaksi menjadi terhambat,” kata Indina.
BACA JUGA: Tips Agar Pengajuan Kreditmu 100 Persen Disetujui
Nah, Kredivo hadir untuk menawarkan proses serba online dan persetujuan yang cepat berdasarkan data alternatif calon debitur.
Calon pengguna, lanjut dia, hanya perlu mendaftarkan diri melalui aplikasi Kredivo. Syarat utamanya adalah harus memiliki KTP, berusia di atas 18 tahun, berpenghasilan minimal 3 juta per bulan. Selain itu mereka juga berdomisili di 17 kota dimana layanan Kredivo tersedia.
Ada dua tipe pengguna. Basic dan Premium. Akun basic hanya bisa mendapatkan limit Rp 3 juta. Sedangkan akun Premium bisa mendapat pinjaman hingga Rp 30 juta. Tapi syaratnya pengguna harus menghubungkan akun internet banking sebagai pengganti bukti penghasilan yang akan diakses sekali saja.
Menurut Indina, hubungan penyedia Pay Later dengan pengguna tak selamanya mulus. Sebagian besar hubungan keduanya kurang mesra lantaran dana macet. Kredivo tak menjawab secara pasti berapa besar dana macet ketika. "Angka NPL (non-performing loan) kami sangat terjaga, setara dengan bank papan atas di Indonesia," jawab pihak Kredivo.
Sudah ada sekitar 3.000 aduan nasabah korban fintech bermasalah
SENGKETA HUTANG ONLINE
Sementara itu, maraknya penggunaan Pay Later juga menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Dewan Pengurus YLKI Sulastri, kurangnya literasi keuangan digital membuat masyarakat mudah terperdaya penyedia pinjaman online.

Secara prosedural dan legal formal, lanjutnya, penyedia jasa pinjaman online terutama fintech ilegal sukar dilacak keberadaannya. "Sementara kalo model platform seperti ini, semua dilakukan secara online, jadi kita tidak tahu siapa penanggungjawab perusahaan dan dimana lokasinya. Itu bisa membuat kita kesulitan kalau ada masalah,” jelas Sulastri.Di sisi lain, pihak penyedia Pay Later akan mengimingi-imingi penawaran lainnya usai pengguna membayar tagihan.
Biasanya, menurut Sulastri, perusahaan punya database konsumen memiliki track record peminjaman baik. Konsumen yang membayarkan tepat waktu merupakan asset bagi mereka. “Untuk konsumen semacam ini, mereka akan berusaha memberikan penawaran yang menggiurkan,” ucap Sulastri.
Permasalahan di ranah Fintech semakin hari semakin bertambah besar. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memperkirakan terdapat sekira 3.000 aduan nasabah korban fintech bermasalah.
Dari berbagai pengaduan, menurut Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari sperti dikutip tempo.co, berisi persoalan seputar penagihan dilakukan bukan hanya ke peminjam, namun ke kontak milik peminjam.
Begitu pula penyebaran data pribadi juga dilakukan, nan mengakibatkan peminjam mengalami ancaman, fitnah, penipuan, dan pelecehan seksual. Penyebaran foto dan informasi pinjaman disebar oleh penagih ke seluruh kontak milik peminjam.
BACA JUGA: Aplikasi Keuangan Ini Dapat Mengatur Keuangan Kamu Agar Tidak Bengkak
Menurut Jeanny, dari total aduan ke LBH Jakarta hingga akhir 2018, 25 persen melibatkan perusahaan fintech pinjaman online terdaftar resmi di OJK.
Sementara pada Januari 2019, persentase perusahaan fintech pinjaman online terdaftar berubah menjadi 50 persen. Namun, pihaknya tidak merinci apakah fintech tersebut juga melibatkan perusahan penyedia Pay Later.
Dengan berbagai permasalahan fitech nan merugikan banyak masyarakat, Sulastri meminta pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat.h. “Sebagai lembaga negara yang berotoritas penuh akan hal ini kami harap OJK mampu memberi edukasi pada masyarakat,” jelasnya.
Menjawab permasalahan tersebut perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih kepada MerahPutih.com menuturkan bahwa OJK terus berupaya untuk melindungi hak-hak konsumen. “Untuk melindungi konsumen, kami membuat sejumlah regulasi yang harus dipatuhi oleh pelaku industri jasa keuangan seperti tercantum dalam POJK Nomor 1/POJK.07/2013,” urai Sekar.
BACA JUGA: OJK Beberkan Ciri-Ciri Perusahaan Fintech Ilegal
Dirinya juga menjelaskan, dalam proses penyelenggaraannya, peer to peer (P2P) lending yang terdaftar di OJK harus memenuhi aturan dan ketentuan di POJK 77/POJK.01/2016 tentang penyelenggara jasa layanan pinjam meminjam berbasis teknologi.
“Kami telah membatasi akses data fintech legal hanya seputar microphone, lokasi dan kamera. Jika mereka terbukti melakukan pelanggaran akses data selain ketiga hal tersebut maka izinnya akan dicabut,” paparnya.
Dalam hal perlindungan konsumen, POJK 77/POJK.01/2016 mengedepankan transparansi atau keterbukaan informasi oleh penyelenggara terkait biaya dan risiko yang harus diterapkan platform penyelenggara.
“Dalam upaya perlindungan berlapis, kami mewajibkan penyelenggara fintech legal untuk terdaftar pada asosiasi yang ditunjuk oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Kalau bukan angota AFPI, kami akan mencabut izinnya,” tegasnya.
Sementara upaya untuk mengedukasi masyarakat juga dilakukan misalnya dengan sosialisasi berupa workshop dan seminar. “Kami juga melakukan workshop ke kampus-kampus untuk mengedukasi generasi muda,” tukasnya.
Lantas bagaimana agar tak terperosok dalam jebakan Pay Later?
AGAR TAK TERJEBAK PAY LATER
Pada prinsipnya, adanya layanan Pay Later membantu kamu untuk mengatur arus kas, namun tentunya kamu harus bijak dan mengukur kemampuan sebelum fitur ini supaya enggak terjebak hutang Pay Later. Nah, berikut tips dari rand Head of Marketing Kredivo Indina Andamari agar kamu tak lolos dari jebakan Pay Later:
- Gunakan utang untuk kebutuhan produktif
Sebelum mengajukan pinjaman, tanyakan terlebih dahulu pada dirimu, apakah utang tersebut akan membantumu menghasilkan uang di masa depan? Jika ya, maka utang tersebut masuk ke dalam utang produktif.
Misalnya kamu seorang desainer grafis yang mau kredit laptop dengan spesifikasi lebih canggih untuk menunjang pekerjaanmu, maka sah-sah saja berutang selama jumlah cicilannya masih masuk ke dalam budgetmu.
Bersikaplah bijaksana sebelum mengajukan kredit, jangan sampai kamu terlilit utang yang tidak menghasilkan apapun.
- Pinjam sesuai kemampuan
Setelah itu, pertimbangkan juga kemampuanmu dalam membayar. Mengingat masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi, pastikan jumlah cicilan yang harus kamu bayar per bulannya tidak melebihi 30 persen total pendapatanmu saat ini.
Dengan begitu, rasio utangmu masih dalam batas aman, kamu pun tak akan sengsara dalam memenuhi sehari-hari, dan terlindungi dari risiko kredit macet yang disebabkan oleh ketidaksanggupan dalam membayar.
- Jangan menunda kewajiban untuk mencicil
Mungkin kamu pernah merasa malas untuk membayar cicilan karena dana yang dimiliki dipakai untuk memenuhi kebutuhan lain.
Hati-hati, jika terus berlanjut, kemalasan tersebut bisa berubah jadi petaka. Sebab, setiap lembaga finansial akan mengenakan denda dan tambahan bunga untuk debitur yang tidak melakukan pembayaran tepat waktu. Nilai cicilan yang harus dibayar di bulan berikutnya akan terus melonjak sehingga akhirnya mengalami kredit macet.
Jadi intinya: pergi sekarang, jangan bayar nanti-nanti!
(avia/ikh/gon)