Penerapan Darurat Sipil untuk Penanggulangan COVID-19 Dikritik Karena Tak Relevan


Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (Foto: antaranews)
MerahPutih.Com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menganggap, tak relevan jika pemerintah hendak memberlakukan darurat sipil saat ini. Pasalnya, yang dilakukan adalah kerja kesehatan bukan penertiban.
Menurut Choirul, dalam situasi COVID-19 yang terus meningkat ditambah belum maksimalnya sarana prasana yang digunakan memerangi virus ini, seharusnya pemerintah cukup menetapkan darurat kesehatan.
Baca Juga:
Jika Karantina Wilayah, Pemerintah Diminta Pastikan Ketersediaan Kebutuhan Pokok
"Pendekatan utamanya adalah kepentingan kesehatan, salah satu cara kerjanya membangun kesadaran masyarakat dan solidaritas.Tujuannya pada kerja-kerja kesehatan, bukan pada kerja penertiban,"kata Choirul dalam keterangannya, Senin (30/3).
Ia menjelaskan, darurat kesehatan nasional bertujuan untuk memastikan kondisi kesehatan masyarakat yang terancam oleh virus Corona.

Darurat kesehatan nasional juga memuat kondisi sarana dan prasarana yang belum maksimal.
Sementara, darurat sipil tujuannya tertib sipil yang biasanya untuk memastikan roda pemerintahan berjalan dan tertib sipil.
"Dari perspektif tujuan saja berbeda jauh," tutur Choirul.
Menurutnya, saat ini pemerintah masih berjalan baik, jadi darurat sipil tidak perlu ditetapkan Jokowi. Bahkan, perkembangan penanganan COVID-19 dinilainya menuju ke arah yang lebih baik, meski belum maksimal.
"Tata kelolanya yang diperbaiki, misalkan platfrom kebijakan yang utuh dan terpusat, karena karakter COVID-19 membutuhkan kebijakan utuh dan terpusat," kata Choirul.
Melalui penetapan darurat kesehatan nasional, Jokowi langsung memimpin konsolidasi penanganan COVID-19, maka penanganan bakal lancar sampai daerah.
Intinya, yang dibutuhkan adalah status darurat kesehatan nasional, bukan darurat sipil.
"Misalkan mendorong keaktifan perangkat pemerintahan terkecil seperti RT dan RW termasuk Puskesmas menjadi garda komunikasi terdepan," tutur Choirul.
Darurat sipil diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keadaan darurat sipil punya konsekuensi ngeri bila ditetapkan, yakni penguasa darurat sipil berhak mengadakan peraturan untuk membatasi percetakan, penerbitan, tulisan, dan gambar apapun.
Penguasa darurat sipil bisa menyuruh aparat untuk menggeledah tempat sekalipun pihak pemilik tempat tidak bersedia.
Penguasa darurat sipil berhak menyita semua barang yang diduga mengganggu keamanan, hingga memeriksa badan dan pakaian tiap orang yang dicurigai. Serta, penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.
Penguasa darurat sipil berhak mengetahui semua berita dan percakapan telepon, melarang pemakaian kode hingga bahasa selain bahasa Indonesia, membatasi penggunaan alat telekomunikasi, dan menghancurkan alat telekomunikasi.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan saat ini perlu kebijakan darurat sipil. Berikut ini penjelasan mengenai darurat sipil.
Baca Juga:
Ketua DPRD Incar Anggaran Formula E Anies untuk Biaya Tangani Wabah Corona
"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19, disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3).
Latar belakang kebijakan penetapan darurat sipil saat ini adalah Jokowi menilai pembatasan kebijakan sosial sudah perlu diterapkan dalam skala besar.
Physical distancing atau jaga jarak fisik harus diterapkan secara tegas, disiplin, dan efektif. Semua itu untuk mencegah penyebaran COVID-19.(Knu)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Komnas HAM Minta Polda Buka Ruang Peninjauan Kembali Kasus Kematian Diplomat Arya

Temuan Komnas HAM di Balik Persekusi Retreat Kristen di Cidahu Sukabumi, Pengusiran hingga Perusakan

Pembubaran Retreat Keagamaan di Sukabumi Dinilai sebagai Bentuk Pelanggaran HAM dan Intoleransi

Bantah Fadli Zon, Komnas HAM Ungkap Bukti Kekerasan Seksual saat Peristiwa Mei 98

Komnas HAM Bakal ke Raja Ampat, Selidiki Dugaan Intimidasi hingga Pelanggaran Tambang Nikel

Proyek Tambang Nikel di Raja Ampat Berpotensi Langgar HAM, Bisa Picu Konflik Horizontal

TNI AD Anggap 'Sentilan' Komnas HAM soal Insiden Ledakan Garut sebagai Masukan

Komnas HAM Temukan 21 Buruh Sipil Dibayar Rp 150 Ribu Saat Ledakan Garut, TNI Angkat Suara

Komnas HAM Investigasi Kasus Tragedi Pesta Miras Oplosan di Lapas Bukittinggi

Dikaitkan dengan Oriental Circus Indonesia, TN AU Akui Pernah Kerjasama
