Pemohon Uji Materiil Sistem Pemilu Dianggap Tak Miliki Legal Standing dan Diprediksi Ditolak
Wakil Sekretaris Jenderal Hukum dan Advokasi DPP PKS Zainuddin Paru. Foto: Humas PKS
MerahPutih.com - Tim Hukum dan Advokasi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menganggap janggal soal Permohonan Pengujian Materiil Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan terkait sistem Pemilihan Umum.
Wakil Sekretaris Jenderal Hukum dan Advokasi DPP PKS Zainuddin Paru menjelaskan, pemohon tidak memiliki hak konstitusional dalam pengujian undang-undang.
Baca Juga
Polri akan Periksa Denny Indrayana Terkait Laporan Dugaan Kebocoran Putusan MK
"Pemohon tidak memiliki legal standing. Pihak yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian UU a quo adalah Partai Politik sebagai pemegang Hak Eksklusif dari Pasal 22E Ayat (3)," ucap Zainuddin dalam keterangannya, Sabtu (3/6).
Menurut Zainuddin, para pemohon berkedudukan hukum sebagai perseorangan atau kelompok yang tidak mewakili partai politik. Maka dari itu, hak dan kewenangan konstitusional para pemohon tidak dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
Hal ini karena partai politik yang mengalami dampak secara langsung dengan perubahan sistem pemilihan baik itu proporsional terbuka maupun proporsional tertutup.
"Pihak Terkait DPP PKS memohoh agar Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)," ujarnya.
Baca Juga
MK Ogah Digiring ke Urusan Politis Jelang Putusan Judicial Review Sistem Pemilu
Zainudin Paru menjelaskan, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di hadapan Mahkamah menunjukkan bahwa Pemohon yang mengajukan Permohonan dengan kedudukan hukum sebagai perseorangan/kelompok, atau tidak mewakili Partai Politik.
Selain itu sebagai pihak terkait, DPP PKS ungkap Zainuddin Paru memilih untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka bukan hanya mengacu pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dengan semua alasan dan argumentasinya.
Akan tetapi juga karena menyerap aspirasi masyarakat luas yang mendukung diterapkannya sistem proporsional terbuka.
PKS menyerap aspirasi masyarakat luas yang mendukung diterapkannya sistem proporsional terbuka dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup, seperti: reifikasi politik, mendekatkan pemilih terhadap wakil rakyat sekaligus memudahkan pengawasan rakyat kepada wakilnya, dan keterbukaan nama wakil pengganti bila ada recall.
"Selain itu, Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 tegas mengamanatkan pengaturan Pemilu diatur oleh pembentuk UU (open legal policy)," sambungnya.
Zainuddin meminta agar Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh pemohon dikarenakan cacat formil dan masih terdapat banyak kekurangan.
"MK sepatutnya meminta Pemohon mencabut Permohonannya sebagaimana Mahkamah telah meminta Pemohon pada perkara Uji Materi UU Ibu kota Negara pada Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022, atau setidak-tidaknya Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)," pungkas Zainuddin. (Knu)
Baca Juga
Bagikan
Joseph Kanugrahan
Berita Terkait
MK Tolak Perubahan Usai Pemuda Menjadi 40 Tahun di UU Kepemudaan
Iwakum Nilai Keterangan DPR dan Dewan Pers di MK Tak Jawab Substansi Perlindungan Wartawan
Imunitas Jaksa Dibatasi oleh Putusan MK, Kejagung Janji Lebih Berintegritas
Putusan MK 'Paksa' Revisi UU ASN, DPR Tegaskan Perlunya Pembentukan Lembaga Independen Baru untuk Awasi Sistem Merit
Istana Pelajari Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Pembentukan Lembaga Pengawas ASN, Diklaim Sejalan Dengan Pemerintah
Komisi Kejaksaan Hormati Putusan MK soal Pembatasan Imunitas Jaksa
MK Batasi Imunitas Kejaksaan: Pemeriksaan Hingga OTT Jaksa Tidak Perlu Izin Jaksa Agung
MK Wajibkan Pemerintah Bentuk Lembaga Independen Awasi ASN, Tenggat Waktunya 2 Tahun
Rumus Kenaikan UMP 2026 Ditargetkan Kelar November, Pemerintah Bakal Merujuk Putusan MK 168
Hakim MK tak Setuju Pemerintah Sebut JR UU Pers Beri Kekebalan Hukum Absolut bagi Wartawan