Tim Advokasi: Sidang Kasus Teror Novel Baswedan Hanya Sandiwara
Kamis, 19 Maret 2020 -
MerahPutih.com - Tim Advokasi Novel Baswedan menilai sidang perkara teror terhadap kliennya itu hanya sekadar sandiwara. Penilaian ini disampaikan tim advokasi setelah memantau sidang perdana dengan terdakwa dua anggota kepolisian, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Kamis (19/3).
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Rahmat Kadir dan Ronny Bugis telah melakukan penganiayaan berat dengan menyiram air keras terhadap Novel.
Baca Juga:
Persidangan Dua Penyerang Novel Dibatasi Demi Cegah Penyebaran Corona
"Tim advokasi menilai bahwa sidang penyiram air keras terhadap Novel Baswedan tidak lain hanyalah formalitas belaka," kata Arif Maulana, salah seorang anggota tim advokasi Novel dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (19/3) malam.
Pasalnya, kata Arif, sidang dilangsungkan cepat, tidak ada eksepsi, tidak beroritentasi mengungkap aktor intelektual, dan kemungkinan besar berujung hukuman yang ringan.
Arif mengatakan, dari dakwaan yang dibacakan dalam persidangan, JPU hanya menilai kasus penyiraman air keras terhadap Novel sebagai tindak pidana penganiayaan biasa yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi dan teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima oleh para penyidik KPK.
Hal ini ditunjukkan dengan tidak dicantumkannya Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai merintangi penyidikan dan Pasal 340 KUHP mengenai pasal pembunuhan berencana dalam surat dakwaan terhadap kedua terdakwa.
"Padahal, sesuai fakta Novel diserang karena kerja-kerjanya menyidik kasus korupsi dan hampir saja kehilangan nyawanya akibat cairan air keras yang masuk ke paru-paru," ujar Arif.
Menurut Arif, dakwaan JPU ini bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk Kasus Novel Baswedan yang menemukan motif penyiraman air keras terhadap Novel berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya.
Padahal dakwaan JPU, kata Arif, mengamini motif sakit hati atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi kepolisian, yang disampaikan Terdakwa sangat terkait dengan kerja Novel di KPK.
"Tidak mungkin sakit hati karena urusan pribadi, pasti karena Novel menyidik kasus korupsi termasuk di kepolisian. Terlebih lagi selama ini, Novel tidak mengenal ataupun berhubungan pribadi dengan terdakwa maupun dalam menyidik tindak pidana korupsi," jelas dia.
Tim Advokasi juga menilai dakwaan JPU tidak mengungkap fakta atau informasi siapa yang menyuruh kedua terdakwa meneror dan menyiramkan air keras kepada Novel. Tim advokasi menduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan.
"Hal ini bertentangan dengan temuan dari Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebutkan bahwa ada aktor intektual di balik kasus Novel Baswedan," kata Arif.
Tim advokasi juga menyoroti langkah Mabes Polri yang menyediakan sembilan pengacara untuk membela kedua terdakwa. Hal ini dinilai yang sangat janggal lantaran perbuatan pidana kedua terdakwa bukan tindakan dalam melaksanakan tugas institusi, namun, mendapatkan pembelaan dari institusi kepolisian.
"Sembilan pengacara yang mendampingi para terdakwa tidak mengajukan eksepsi. Hal ini sangat janggal bagi pengacara ketika tidak menggunakan hak mengajukan eksepsi terhadap dakwaan yang ditujukan kepada terdakwa," bebernya.
Baca Juga:
Tim Pengacara Puji Dua Pelaku Penyerangan Novel Sebagai Sosok Gentleman
Tanpa eksepsi atau nota keberatan dari kedua terdakwa maupun sembilan pengacara yang mendampinginya, sidang selanjutnya akan langsung masuk kepada tahap pembuktian dan didahului dengan pemeriksaan saksi.
"Artinya sidang dibuat cepat dari lazimnya sidang pidana," imbuhnya.
Atas hal-hal tersebut, tim advokasi Novel Baswedan mendesak majelis hakim untuk mengadili kasus ini dengan independen dan progresif. Hal ini dinilai penting untuk mengungkap kebenaran materiil dalam kasus Novel sehingga persidangan kasus ini dapat memberikan keadilan bagi korban dan masyarakat.
Selain itu, tim advokasi juga mendesak Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Kejaksaan, Komnasham, Ombudsman RI, dan organisasi advokat untuk aktif memantau seluruh proses persidangan kasus ini.
"Kami juga mendesak Komnas HAM memantau persidangan ini karena terindikasi untuk menyembunyikan jejak pelaku perencana/penggerak dan jauh dari temuan Komnas HAM dan mengajak masyarakat serta media tetap mengawal pengungkapan kasus hingga ke aktor intelektual, 'jenderal' di balik kasus penyiraman air keras Novel Baswedan," tutup Arif. (Pon)
Baca Juga:
Asam Sulfat untuk Siram Novel Baswedan dari Mobil Gegana Polri