Tetap Survive di Tengah Kemelut UU Cipta Kerja dan Pandemi Meski Kena PHK
Selasa, 13 Oktober 2020 -
"Beep!" Satu pesan masuk ke ponsel Adit (bukan nama sebenarnya). Ia pun melirik ponselnya. 'Grup Kantor' (cepat-cepat ia buka isinya berjaga-jaga ada info penting. Namun alih-alih pesan penting ia melihat nama rekannya, Ridwan. Ia pun segera membuka pesan yang pop-up di layar ponselnya itu.
"Teman-teman, saya pamit ya. Mulai tanggal 1 Juni saya sudah tidak bekerja di kantor lagi. Mohon maaf kalau ada salah-salah kata," demikian bunyi pesan dari Ridwan.
Adit pun menghela napas berat. Ini sudah pesan ketiga yang ia terima dari rekan-rekan kerjanya selama work from home. Entah apa yang dipikirkan oleh perusahaan, menghentikan teman-temannya di masa pandemi ini. Prihatin sekaligus ngeri akan nasibnya sendiri, Adit kembali meletakkan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya.
Baca juga:
Malam harinya, ponsel Adit berdering. 'Anna Incoming Voice Call' demikian tulisan yang terpampang di layar. Ya. Itu adalah sekretarisnya di kantor. "Duh! Ada apa nih?" Ucapnya dalam hati gugup. Ia pun segera mengangkat telepon itu.
"Ya, Na?", "Mas besok bisa dateng ke kantor ngga?" Sahut suara disebrang sana. "Oke. Ada apa, Na?" tanyanya dengan napas tercekat. "Apakah aku akan bernasib sama seperti Ridwan dan yang lainnya?" Tanyanya dalam hati. Cepat-cepat ia menggelengkan kepala mengenyahkan pikiran mengerikan itu.
"Ini mas urus absensi selama work from home," mendengar jawaban Anna ia pun menghela napas. "Alhamdulillah Ya Allah! Terima kasih sudah menyelamatkan hamba," ucapnya lega dalam hati. "Oke, Na! Siap perintah!"
Keesokan harinya, usai ia mengurus absensi. Ia menuju parkiran. Ia menoleh ke salah satu kursi panjang yang kini kosong. Bayangan ketika ia dan teman-temannya ngumpul di sana pun terbersit di benaknya. Biasanya kursi itu ramai oleh tawa dan celetukan teman-temannya.
Ada yang merokok, main game online atau sekedar bincang-bincang. Penuh kehangatan. Kini bangku tersebut kosong tanpa satu pun orang. Dingin. Tiba-tiba udara sore lebih menusuk tulang dari biasanya.
"Oi, Dit" sebuah suara membuyarkan lamunannya. Saat menoleh ia melihat teman kantornya, Anto nyengir. "Eh mas..."
"Tumben ke kantor. Ada apa nih?" Selidik Anto kepo. "Abis urus absensi mas," jawabnya tanpa basa basi. "Ngopi sama sebat (merokok) yuk ke warkop sebrang," ajak Anto hangat.
Sesampainya di warkop. Mereka mulai berbincang-bincang. "Ridwan keluar yo, Mas," Adit memulai pembicaraan.
"Iyo Dit. Mesake (kasihan) ya," sahut Anto dengan logat Jawa yang kental. Keduanya memang berasal dari Jawa Tengah dan kerap kali berbincang dalam bahasa Jawa setiap sedang berdua.
"Iyo mas. Padahal de'e nduwe anak loro. Cilik-cilik (Iya mas. Padahal dia punya anak dua. Kecil-kecil)," responnya dengan nada prihatin.
"Yo piye meneh? Nek iku wis dadi keputusane kantor (Ya bagaimana lagi? Kalau itu sudah jadi keputusan kantor)," jawab Anto. Mereka pun diam untuk beberapa saat. Hanyut dalam lamunannya masing-masing.

Memang sudah sejak lama, media tempat Adit bekerja diisukan mulai goyah. Kapal oleng. Begitu sebutan mereka. Pandemi justru memperparah kondisi ini.
Ketika kondisi kantor mulai goyah, pihak atasan memindahkan Adit yang sudah senior itu ke media online. Ya, sebelumnya ia memang ditugaskan di koran.
Teman-temannya menganggap Adit beruntung. Sementara ia sendiri justru merasa nasibnya terombang ambing tidak jelas. Melihat kondisi kantor yang sudah sekarat tersebut, rasanya tinggal menunggu ajal saja.
"Aku ingin berada di atas kapal hingga karam," demikian jawaban Adit setiap kali sang istri bertanya mengapa ia tidak keluar saja. Sebagai seorang desain grafis, sebenarnya sudah ada beberapa tawaran yang datang padanya.
Namun ia ingin terus berpegangan pada tempatnya bekerja sejak awal menginjakkan kaki ke Jakarta. Melihat dedikasi dan loyalitas Adit, sang istri pun hanya bisa menghargai keputusan suaminya.
Sebulan kemudian, manajer kantornya menghubunginya. Memintanya untuk datang ke kantor. Adit yang sedang makan bersama istri pun segera memberi tahu istrinya. "Pak Sugeng telepon. Aku disuruh ke kantor," tuturnya tenang. Meski terlihat tenang sebenarnya ia juga cemas pada nasibnya.
"Ada apa?" tanya sang istri cemas. "Ngga tahu nih. Doain aja ya," sesaat kemudian ia beranjak ke kantor.
Sepanjang perjalanan jantung Adit berdegup cepat. Beberapa kali ia menghela napas dan mengafirmasi dirinya sendiri bahwa semua baik-baik saja.
Sesampainya di kantor, ia melihat dua temannya yang lain, Arsan dan Dito yang sama-sama dipindahtugaskan ke media online. Pak Sugeng pun ada dihadapan mereka. "Teman-teman gimana kabarnya nih selama WFH?" tanya pak Sugeng berbasa-basi. "Baik pak," jawab ketiganya kompak.
"Begini teman-teman. Di sini saya mau berterima kasih ke teman-teman. Sebenarnya saya berat mau melepas karyawan senior seperti kalian. Tetapi kondisi perusahaan tidak memungkinkan..." Tiba-tiba telinga Adit mendadak tidak bisa mendengar lanjutan ucapan pak Sugeng.
Otaknya blank seolah tidak bisa mencerna. Akhirnya, gilirannya pun tiba. Ia tahu waktu ini akan datang tetap saja ia tidak siap. Jauh sebelum waktunya tiba, ia kerap dihinggapi paranoid.
Setiap temannya pamit, ia selalu dihinggapi was-was seolah menanti gilirannya. Setiap pihak kantor menghubungi ia takut sendiri karena berpikir ini akan menjadi yang terakhir.
Baca juga:
Pensiun dini, kata mereka. Meskipun pesangon yang dikantunginya cukup besar ia tetap merasa kalut. Belum lagi statusnya di media online perusahaannya hanya sebagai pegawai kontrak. Ia merasa semakin tidak menentu.
Sesampainya di rumah, ia segera mengabari istrinya. Terlihat ekspresi kecewa di wajah istrinya. Sama seperti Adit, sang istri sebenarnya tahu kapanpun bisa menjadi hari terakhir suaminya di kantor.
Sama seperti suaminya, istrinya pun terus dihantui ketakutan. Bukan saja karena pandemi membuat siapapun sulit mencari pekerjaan tetapi mereka juga sedang menanti kelahiran buah hatinya yang pertama. Otomatis pengeluaran akan bertambah.
"Berdoa aja yang terbaik. Mudah-mudahan masih ada rejeki di media onlinenya," demikian istrinya coba menghibur. Akhir bulan menjadi penentuan apakah kontraknya dengan media online akan dilanjut.
Mengingat sebelumnya status ia di media online hanya dipinjamkan dari media cetak dan kini ia dipensiunkan oleh perusahaan, ia hanya bisa berharap kontraknya diperpanjang.
Namun, hingga akhir bulan tidak ada satu kabar pun untuknya. Sementara dua rekannya yang juga pernah dipinjamkan ke media online, Arsan dan Dito sudah dapat kabar bahwa kontraknya berlanjut. Ia pun berinisiatif untuk menghubungi bagian HRD.
"Siang pak. Saya Adit, desain grafis koran yang kemarin dipinjamkan ke online. Mau tanya, kelanjutannya gimana ya pak?" tanyanya. "Oh iya mas. Maaf yang nggak diperpanjang," jawab suara disebrang sana tanpa berbasa basi.
Dunianya seolah runtuh. Suara seringan itu mampu menggoyahkan dunia Adit. "Baik terima kasih," cetus Adit. Ia pun segera mengajak istrinya berbincang-bincang. "Aku nggak diperpanjang," pernyataan singkat yang terdengar menyayat hati. Kali ini istrinya gagal menyembunyikan gurat kekecewaan.
"Terus gimana?" Tanya istrinya. "Aku izin pakai uang pesangon untuk beli iMac ya. Aku mau kencengin usaha freelance," ia meminta persetujuan sang istri. Istrinya pun hanya mengangguk.
Usai membeli komputer dengan spesifikasi penunjang pekerjaan, Adit mendatangi salah satu temannya, yang seorang teknisi di kantor. Selain minta tolong untuk menginstall program yang diperlukan ia ingin pamit.
"Aku pamit ya mba, mas," ia undur diri. Tampak ekspresi kaget di wajah teman-temannya saat ia pamit. Beberapa tidak percaya sementara yang lainnya menyampaikan kekecewaan karena Adit akhirnya keluar.
Adit, yang merupakan karyawan senior adalah orang yang ramah dan senang main dengan semua karyawan di kantor, laki-laki atau perempuan apapun posisi mereka. Ia tidak ingin berlama-lama di kantor itu.
Hatinya tidak sekuat itu untuk berlama-lama di gedung yang penuh kenangan. Setiap sudut di ruangan itu menyimpan kenangannya mulai dari awal ia berkarir di sana sejak usia yang masih sangat muda, 19 tahun.
Dengan langkah gontai ia turun ke bawah. Ia mulai menghubungi satu persatu rekan kerjanya yang tidak ia temui di kantor karena WFH. Terdengar suara tidak percaya dari ujung sana.
Selang beberapa hari kemudian, ia kembali ke kantornya. Ia ingin mengambil komputernya yang sudah selesai di install. Dirinya telah memutuskan untuk fokus bekerja sebagai freelancer.

Dia membuka ponselnya untuk mengecek media sosial. Ia melihat unggahan mantan rekan kerjanya, Ganang (bukan nama sebenarnya). "Terima kasih kantor atas enam tahunnya. Aku pamit," demikian tulisnya.
Walaupun Adit tahu satu persatu temannya akan dihentikan, dirimya cukup kaget karena tahu Ganang adalah salah satu karyawan yang sudah sangat lama di kantor itu. Dirinya pun segera menghubungi Ganang.
Tidak berapa lama mereka sudah terlibat obrolan. Sama seperti dirinya yang kaget, Ganang pun kaget saat tahu Adit dihentikan. Kondisi WFH membuat mereka tidak saling tahu getirnya nasib satu sama lain.
"Iya, Dit. Padahal sabtu itu aku masih ngetik berita. Sorenya dikabarin aku ngga diperpanjang kontraknya," meski bicara dengan nada tenang, Adit bisa menangkap ekspresi kecewa dari suara Ganang.
Baca juga:
Fresh Graduate Enggak Perlu Takut, Omnibus Law Bukan Jadi Halangan
Dua bulan kemudian Jakarta pecah. Demonstrasi dimana-mana usai pemerintah mengumumkan UU Cipta Kerja disahkan. Adit hanya bisa menggeleng ketika melihat beberapa poin yang tampaknya melemahkan posisi buruh.
Pahit yang ia terima dari perusahaan sebelumnya ditambah UU tidak masuk diakal membuatnya membulatkan tekad. Ia akan berjuang di atas kaki sendiri.
Dirinya akan bekerja secara mandiri dan tidak bergantung pada perusahaan. Ia juga akan lebih banyak waktu untuk mendampingi istrinya yang hamil tua. "I am the master of my fate. I am the captain of my soul," demikian pedoman hidup yang kini ia pegang. (avia)