Stok Gula Nasional Menumpuk dan Mafia Pangan Bergentayangan, Pemerintah Didesak Setop Impor Rafinasi Hingga Prioritaskan Petani Tebu Lokal

Selasa, 09 September 2025 - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Aimah Nurul Anam, menyoroti masalah serius yang dihadapi industri gula dan etanol nasional, mulai dari stok gula yang menumpuk di pabrik hingga kebijakan impor yang tidak berpihak pada petani lokal.

Ia menilai praktik mafia gula semakin merugikan petani, sementara pemerintah belum menunjukkan langkah tegas untuk mengatasi kebocoran distribusi di lapangan.

Dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Mufti menyampaikan keluhan dari konstituennya, khususnya terkait kondisi di Pabrik Gula Jatiroto, Jawa Timur.

“Hari ini di Pabrik Gula Jatiroto, termasuk pabrik gula di Jawa Timur, stok gula menumpuk dan tidak bisa keluar karena pasar dibanjiri gula rafinasi. Ini jelas merugikan petani dan pabrik gula rakyat," jelas Mufti, Senin (8/9).

Baca juga:

Berbagai Harga Pangan di Jakarta Berfluktuasi, Beras Premium, Minyak Goreng dan Gula Masih Alami Kenaikan

Menurutnya, gula rafinasi yang seharusnya hanya digunakan untuk industri makanan dan minuman justru bocor ke pasar ritel. Akibatnya, gula produksi petani tidak terserap, stok menumpuk, dan harganya anjlok.

Mufti menjelaskan, serapan gula petani pada musim giling 2024–2025 turun hingga 20%, dengan harga yang hanya mencapai Rp11.000–Rp11.500 per kilogram, jauh di bawah Harga Acuan Penjualan (HAP) pemerintah sebesar Rp12.500 per kilogram.

Karena itu, Mufti mendesak pemerintah untuk segera mengatur mekanisme stok dan distribusi gula rafinasi agar tidak mengganggu pasar domestik.

Ia juga mengingatkan bahwa pemerintah daerah tidak bisa terus-menerus menanggung beban penyerapan gula petani karena keterbatasan anggaran. Masalah distribusi gula, menurutnya, bersifat struktural dan harus diselesaikan oleh pemerintah pusat.

“Tidak seterusnya daerah punya duit yang cukup untuk mengatasi persoalan ini. Pemerintah pusat harus hadir,” tegasnya.

Selain gula, Mufti juga menyinggung kebijakan etanol yang ia sebut membingungkan dan kontraproduktif. Ia menyoroti perbedaan sikap antara Kemendag dan Kementerian Perindustrian mengenai impor etanol, padahal pabrik gula di dalam negeri memiliki stok etanol yang tidak terserap.

Baca juga:

Danantara Hanya Bersedia Beli Gula Petani dari 7 PG di Jatim, Ini Daftarnya

Ia menyebut, kapasitas produksi etanol nasional mencapai 450 juta liter per tahun, tetapi serapan domestik hanya sekitar 60–65% karena belum ada kebijakan optimal dari pemerintah.

Terakhir, Mufti meminta BPKN untuk mengawasi praktik curang dalam perdagangan gula dan etanol, karena dampaknya dirasakan langsung oleh konsumen. Kebocoran gula rafinasi tidak hanya menekan petani, tetapi juga gagal menurunkan harga di pasar. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Agustus 2025, harga rata-rata gula konsumsi mencapai Rp17.200 per kilogram, jauh di atas HAP.

“Jelas mafia pangan bermain. Rakyat menjerit karena harga tinggi, petani rugi karena hasilnya tidak terserap. Negara harus tegas, jangan biarkan mafia menguasai rantai pangan kita," ucap dia.

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan