SETARA Institute Sebut Gelar Pahlawan untuk Soeharto Langgar Amanat Reformasi dan Hukum
Selasa, 28 Oktober 2025 -
MerahPutih.com - Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai kecaman dari Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi. Ia menilai langkah tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi serta bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurut Hendardi, pernyataan Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang menyebut seluruh tokoh usulan Kementerian Sosial telah memenuhi kriteria, menunjukkan adanya upaya sistematis dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan elite politik di sekitarnya untuk memutihkan masa lalu Soeharto.
“Tampak jelas upaya pemerintahan Prabowo Subianto serta elite politik dan penyelenggara negara di sekitarnya untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berlangsung sistematis,” ujar Hendardi dalam keterangannya, Senin (27/10).
Ia menyoroti bahwa sejak terpilihnya Prabowo sebagai presiden, langkah politik menuju rehabilitasi nama Soeharto semakin nyata. Salah satunya melalui keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Baca juga:
Bonnie Triyana Tegaskan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Mencederai Cita-Cita Reformasi
Pasal 4 dalam TAP tersebut secara tegas menyebut nama Soeharto sebagai subjek yang harus turut ditindak dalam upaya pemberantasan KKN.
“Sejak awal, pencabutan ini adalah langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto penuh pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta inilah yang melahirkan Reformasi 1998,” tegasnya.
Hendardi menilai, mencabut TAP MPR yang memuat nama Soeharto, lalu mengusulkan gelar Pahlawan Nasional bagi mantan presiden tersebut, menunjukkan “amnesia politik dan sejarah”.
“Langkah ini mengkhianati amanat reformasi dan membuka jalan bagi kembalinya glorifikasi rezim otoriter,” ujarnya.
Baca juga:
Pengamat Sebut Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Terhadap Soeharto Misi Sistematis Elite Dekat Prabowo
Lebih lanjut, Hendardi menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Menurut pria berusia 68 tahun itu, Pasal 24 undang-undang tersebut mengatur bahwa penerima gelar harus memiliki integritas moral, tidak pernah mengkhianati bangsa, dan tidak pernah dipidana lebih dari lima tahun penjara.
“Berdasarkan undang-undang ini, Soeharto tidak layak disebut Pahlawan Nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan selama pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, walaupun belum diuji di pengadilan,” ucap Hendardi.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menambahkan, dalam hal tindak pidana korupsi, tanggung jawab Soeharto telah dinyatakan secara hukum.
“Mahkamah Agung lewat Putusan Nomor 140 PK/Pdt/2005 menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar Rp4,4 triliun,” kata Hendardi.
Baca juga:
KontraS Kritik Usulan Gelar Pahlawan untuk Soeharto, tak Sesuai Semangat Reformasi
Ia menilai, Soeharto telah menggunakan kekuasaannya untuk menguntungkan yayasan-yayasan dan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan keluarga serta kroni Cendana.
“Pendek kata, menjadikan Soeharto Pahlawan Nasional adalah tindakan melawan hukum negara,” tegasnya.
Hendardi juga memperingatkan, jika Presiden Prabowo tetap memaksakan pemberian gelar tersebut, hal itu akan mencerminkan praktik kekuasaan yang absolut.
“Jika hal itu dilakukan, maka tidak salah jika muncul anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan—semacam ‘Negara adalah aku’, seperti ungkapan Raja Louis XIV: L’État, c’est moi,” pungkasnya. (Pon)