Rapor Merah KPK di Bawah Komando Firli Bahuri
Kamis, 25 Juni 2020 -
MerahPutih.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) menyoroti merosotnya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) era kepemimpinan Firli Bahuri. Hal ini tak bisa dilepaskan dari rentetan kejadian pelemahan yang dilakukan oleh Presiden dan DPR terhadap KPK di sepanjang tahun 2019 yang lalu.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, upaya pelemahan itu terjadi mulai dari proses pemilihan pimpinan KPK yang sarat akan kepentingan politik, sampai pada upaya melululantahkan kewenangan melalui jalur legislasi.
Baca Juga:
KPK Cecar Eks Menkeu Agus Martowardojo Soal Proses Penganggaran e-KTP
"Hasil dari segala upaya Presiden dan DPR pun perlahan-lahan mulai terlihat, KPK kini hanya menjadi institusi pemberantasan korupsi yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat," kata Kurnia dalam diskusi daring "Peluncuran Hasil Pemantauan Kinerja KPK Semester I (Desember 2019-Juni 2020)", Kamis (25/6).
Pada konteks kepemimpinan, kata Kurnia, KPK kini diisi oleh lima komisioner yang kebijakannya kerap kali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Tak pelak, proses tata kelola organisasi pun menjadi problematika baru di KPK. Begitu pula pada aspek penindakan dan pencegahan, yang mana juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan dibanding kepemimpinan sebelumnya.
"Kombinasi seperti ini tentu hanya akan menafikan ekspektasi publik terhadap kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK," ujarnya.
Menurut Kurnia, berbagai persoalan selama kurun waktu enam bulan terakhir ini berimplikasi pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK. Survei yang dilakukan oleh Indo Barometer dan Alvara Research Center pada Februari serta Litbang Kompas beberapa waktu lalu menunjukkan fakta bahwa KPK tidak lagi menempati peringkat teratas dalam hal kepercayaan masyarakat.
"Ini menunjukkan bahwa adanya permasalahan serius pada kelembagaan KPK itu sendiri," imbuhnya.

Sementara itu, peneliti TII Alvin Nicola mengatakan, setidaknya ada tiga fokus utama dalam kajian evaluasi ini yang meliputi kinerja penindakan, pencegahan, dan kebijakan internal organisasi.
"Ketiga poin ini nantinya diharapkan dapat mencerminkan situasi stagnasi pemberantasan korupsi di KPK," ujarnya.
Pertama, kata Alvin, upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis dan seringkali justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Hal ini didasari atas minimnya tangkap tangan, menghasilkan banyak buronan, tidak menyentuh perkara besar, dan juga abai dalam melindungi para saksi.
"Padahal instrumen penindakan menjadi salah satu bagian utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi," ungkapnya.
Kedua, Alvin melanjutkan, bahwa fungsi pencegahan belum berjalan optimal. Hal ini dapat ditelusuri dengan melihat minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, ketiadaan strategi baru dalam pencegahan kerugian keuangan negara, stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis, dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif.
"Sehingga KPK dalam hal ini penting untuk merombak ulang strategi pencegahan karena terbukti gagal dalam enam bulan terakhir," bebernya.
Ketiga, kebijakan internal KPK seringkali hanya didasarkan atas penilaian subjektivitas semata. Bahkan dengan melihat iklim di lembaga antirasuah saat ini praktis publik dapat memahami bahwa terdapat dominasi dari salah satu Pimpinan KPK dalam mengambil setiap kebijakan.
Kesimpulan itu, kata Alvin, merujuk pada fakta yang terjadi di KPK, di antaranya, pengembalian paksa penyidik KPK ke Polri, penafsiran keliru publikasi penghentian penyelidikan, tertutupnya akses publik, upaya intervensi pemanggilan saksi, kental dengan gimmick politik, dan memberikan perlakuan khusus kepada tersangka.
"Tentu ini menunjukkan minimnya pengetahuan dari Pimpinan KPK untuk menciptakan tata kelola organisasi yang baik," kata Alvin.
Baca Juga:
Agus Martowardojo Bantah Diperiksa KPK Soal Cetak Uang Rupiah di Australia
Kemudian yang keempat, Alvin menilai, fungsi Dewan Pengawas KPK belum berjalan efektif sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Hal ini karena sejak Dewas dilantik praktis tidak pernah ada temuan penting terkait potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Padahal di sisi lain publik dapat dengan mudah melihat kontroversi yang telah dihasilkan oleh pimpinan KPK.
"Ini menujukkan bahwa Dewan Pengawas berupaya menutup diri terhadap ragam persoalan di era kepemimpinan Komjen Firli Bahuri. Tak hanya itu, saat merumuskan kode etik, Dewan Pengawas juga tidak lagi mengakomodir pengaturan etik Pimpinan KPK," ujarnya.
Menyikapi sejumlah persoalan tersebut, ICW dan TII merekomendasikan KPK untuk membenahi sektor penindakan, terlebih dengan memastikan adanya objektivitas dan independen saat mengusut sebuah perkara. Tak hanya itu, integrasi antara penindakan dan pencegahan pun perlu dipikirkan ulang serta juga mereformulasikan strategi pencegahan yang selama ini ada di KPK.
"Pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya Pimpinan KPK untuk meminimalisir gimmick politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan," tutup Alvin. (Pon)
Baca Juga: