Proyek Kereta Cepat Whoosh Program Jokowi Jadi Beban, Kontrak Awal Proyek Ini Harus Disisir Ulang
Rabu, 15 Oktober 2025 -
MerahPutih.com - Beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh mencapai sekitar Rp 116 triliun di 2025 ini. Kondisi ini membuat PT KAI kelimpungan.
Anggota Komisi VI DPR RI, Sartono Hutomo, meminta pemerintah untuk menyisir ulang kontrak awal proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Langkah ini, penting untuk memastikan siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap utang proyek yang dikerjakan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Permintaan Sartono ini disampaikan di tengah perdebatan mengenai nasib utang proyek kereta cepat yang kini dikenal dengan nama Whoosh.
Baca juga:
PKS Dukung Menkeu Tidak Gunakan APBN Bayar Utang Kereta Cepat Whoosh
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa utang proyek ini tidak akan ditanggung oleh APBN.
"Sebelum pemerintah mengambil keputusan apa pun, kontrak awal proyek ini harus disisir ulang. Kita harus tahu secara rinci siapa yang bertanggung jawab terhadap utang, bagaimana klausul cost overrun disepakati, dan bagaimana mekanisme jaminan pinjaman diatur sejak awal,” kata Sartono, Rabu (15/10).
Politisi Demokrat ini secara terbuka menyatakan persetujuannya terhadap sikap Menkeu yang menolak usulan Danantara agar utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) ditanggung APBN. Ia menilai, sikap Menkeu tersebut sudah tepat dan bijak secara fiskal.
“Ini bukan soal menolak proyek strategis nasional, tetapi tentang menjaga disiplin keuangan negara. Kita harus bedakan secara tegas antara proyek yang dilakukan atas nama konsorsium BUMN dengan proyek yang dijamin langsung oleh negara,” jelasnnya.
Sartono mengungkapkan, kekhawatirannya jika setiap proyek yang bermasalah lantas berlindung di balik APBN, karena hal itu akan membuat fiskal negara menjadi tumpuan terakhir dari semua risiko korporasi, yang menurutnya sangat berbahaya.
"Karena itu, prinsip kehati-hatian dan moral hazard harus dijaga,” imbuhnya.
Sartono mendesak adanya solusi jalan tengah yang rasional dan tidak membebani APBN dalam pembayaran utang proyek KCJB senilai total Rp 116 triliun. Ia memaparkan beberapa alternatif mekanisme pembayaran utang.
"Misal dengan melakukan restrukturisasi utang, Mengevaluasi ulang model bisnis KCIC bahkan Melibatkan investor swasta baru,” tuturnya.
Sartono menegaskan, Komisi VI DPR akan terus mendorong agar penyelesaian utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dapat dilakukan secara transparan, profesional, dan tetap menjunjung tinggi akuntabilitas keuangan negara.
“Proyek kereta cepat harus tetap menjadi simbol kemajuan infrastruktur nasional, tapi jangan sampai menjadi beban fiskal yang diwariskan kepada rakyat,” tutupnya. (Pon)