Perppu Penanganan Corona Jangan Jadi Bancakan Pejabat untuk Korupsi

Senin, 04 Mei 2020 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Pandemi COVID-19 berdampak pada stabilitas keuangan dan perekonomian lebih dari 200 negara, termasuk Indonesia.

Guna menjaga stabilitas keuangan negara, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Baca Juga

Presiden Jokowi Minta Evaluasi Total PSBB dan Penyaluran Bansos COVID-19

Sejumlah analis politik pun memberikan pandangan dan masukannya agar Perppu ini tak jadi celah melakukan pelanggaran hukum.

Manager Riset Seknas FITRA Badiul Hadi menyatakan, pasal-pasal pelonggaran di sana jangan sampai dimanfaatkan para pihak sebagai alat pelegalan korupsi dan perlindungan para pihak yang ingin bermufakat jahat.

Menurut Baidul, pemerintah harus melaksanakan prinsip penganggaran yang transparan, akuntabel disemua aspek, terutama pelaksanaan anggaran; pengadaan barang dan jasa semua harus di buka kepublik.

"Transparansi penggunaan anggaran akan menyelamatkan uang negara dari para koruptor," jelas Badiul dalam keteranganya, Senin (4/5)

Koordinator TePI Jeirry Sumapouw menyatakan, situasi Pandemi COVID-19 ini tidak boleh membuka ruang bagi kemungkinan praktek korupsi.

Peneliti Formappi Lucius Karus. Foto: MP/Asropih
Peneliti Formappi Lucius Karus. Foto: MP/Asropih

Jeirry berujar, penggunaan keuangan negara dalam rangka penanganan COVID-19 harus tetap menggunakan kaidah dan prinsip demokrasi dan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang benar.

"Jangan sampai ada oknum memanfaatkan situasi penanganan bencana ini untuk memperkaya diri dan kepentingan politik lainnya," ungkap Jeirry.

Ia berujar, para pejabat pun harus patuh pada kaidah pengelolaan keuangan yang benar. Jika melanggar harus bisa dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku.

"Tak boleh kebal hukum," ungkap Jeirry.

Karena itu, lanjut Jeirry, regulasi yang memberi ruang bagi kemungkinan terjadinya praktek korupsi dan pelakunya juga diberikan kekebalan hukum, secara otomatis tak berlaku atau gugur di negara hukum seperti Indonesia.

"Karena itu, saya mendorong agar DPR RI menolak aturan tentang itu dalam Perppu No. 1 Tahun 2020," ungkap dia.

Analis Politik Exposit Strategic, Arif Susanto menyatakan darurat pandemi COVID-19 bukan berarti mengecualikan penyelenggara negara dari tanggung jawab. Karena itu, tidak boleh ada in-efisiensi apalagi korupsi atas anggaran negara untuk penanggulangan pandemi.

Agar hal tersebut dapat diwujudkan, kontrol terhadap pemerintah perlu dilakukan berlapis; mulai dari kontrol internal, kontrol oleh lembaga legislatif, kontrol oleh media, dan kontrol oleh elemen lain masyarakat.

"Ini membuat jaminan kebebasan berpendapat juga tetap perlu memperoleh perhatian, agar jangan sampai terjadi intimidasi apalagi pembungkaman terhadap kalangan yang kritis," teranf Arif.

Selain itu, pengecualian para pengambil kebijakan dari kemungkinan jerat hukum juga tidak boleh terjadi. Sebab, aturan dan tindakan tersebut berlawanan dengan kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan.

"Segala bentuk refocusing anggaran tidak boleh membahayakan keseimbangan anggaran negara dan tidak boleh merampas hak generasi mendatang dalam berbagai bentuknya," terang Arif.

Baca Juga

3 Penumpang Positif COVID-19, Ini Langkah Ketat PT KCI

Peneliti Formappi, Lucius Karus menyatakan, banyaknya kritik atas isi Perppu mestinya mengisyaratkan perlu dan segeranya DPR mengambil sikap dengan memulai pembahasan resmi Perppu. Ketimbang melanjutkan pembahasan RUU-RUU yang tidak prioritas dalam konteks pandemi.

"DPR mestinya serius memikirkan jalan keluar terbaik agar rakyat tetap diprioritaskan di masa Pandemi dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah tata kelola pemerintahan yang bersih sekaligus demokratis," tutup Lucius. (Knu)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan