Penyeragaman Kemasan Bakal Bikin Warga Sulit Bedakan Rokok Legal dan Ilegal

Jumat, 17 Januari 2025 - Alwan Ridha Ramdani

MerahPutih.com - Rencana penyeragaman kemasan rokok masih menuai polemik. Rencana ini perlu didalami lebih lanjut dengan menimbang kerugian sosial ekonomi yang akan terjadi.

Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin mengkhawatirkan kondisi di mana akan semakin sulit membedakan antara rokok legal atau rokok yang membayar cukai, dengan rokok ilegal.

Akibatnya, kata ia, peredaran rokok ilegal bisa semakin meningkat. Tumbuh suburnya rokok ilegal di pasaran pun akan membuat pengawasan semakin kompleks.

"Hal ini tentu berisiko terhadap peredaran rokok ilegal yang sulit dikendalikan dan diawasi. Makanya, rencana ini perlu ditinjau kembali secara komprehensif," ujarnya.

Baca juga:

Mulai 2025 ini, Merokok di Kawasan Malioboro Kena Denda Rp 7,5 Juta

Pemerintah Indonesia juga dinilai akan mengalami kerugian ekonomi yang besar atas peredaran rokok ilegal. Pasalnya, cukai dari industri hasil tembakau (IHT) mencapai Rp216,9 triliun atau menyumbang lebih dari 95 persen dari total penerimaan cukai pada 2024.

Pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak sebesar 253,7 juta batang. Sementara 2024, jumlahnya meningkat menjadi 710 juta batang. Sehingga, pemerintah melakukan evaluasi efektivitas kebijakan untuk rancangan Permenkes yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan itu.

"Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu menggencarkan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal," ungkapnya.

Putri mendesak agar dibuatnya roadmap atau peta jalan pengembangan IHT. Permintaan itu sebelumnya sudah didorong kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan pada 2022.

Ia mengaku banyak aspirasi seputar nasib IHT dari daerah pemilihannya, Jawa Barat VII, terutama dari pekerja di pabrik rokok yang berada di sektor sigaret kretek tangan (SKT), yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan.

IHT merupakan salah satu industri yang menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik hingga pedagang. Bahkan, di sektor SKT yang padat karya, secara nasional, 90 persen tenaga kerjanya adalah perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan