Omah Sindip, Benarkah Rumah Masa Kecil Soeharto?

Kamis, 14 September 2017 - Yudi Anugrah Nugroho

RUMAH Jawa model limasan berdiri kokoh di daerah Candi Pawon timur, sebelah selatan kelenteng Sam Poo Kong, kota Semarang. Dinding kayunya dipasang dengan tehnik patang aring, atau “sistem panel”, dinding terdiri dari 4 buah rimbat; rimbat atas, bawah, tiang kanan dan kiri serta bagian tengahnya dipasang papan kayu.

Sementara pintunya, memakai model inep loro atau kupu tarung atau dua daun pintu pada sisi kanan dan kirinya sehingga tampak seperti seekor kupu–kupu.

“Saya mendapatkan (rumah) limasan ini dari daerah Wuryantoro, Wonogiri. Saat itu ukuran aslinya lebar 12 meter dan panjang 10 meter. Namun pas dipasang di sini menjadi 8x8 meter sebab menyesuaikan ukuran lahan,” ujar Irwan Prasetia, empunya rumah kepada merahputih.com.

Konstruksi serta gaya rumah limasan sudah terlacak sejak abad VIII. Menurut Mitu M Prie dalam Pancaran Limasan (The Brilliance of Limasan), relief di candi-candi tentang rumah limasan, tentu semuanya telah melalui tahapan supervisi. Hasil supervisi itu kemudian disematkan pada panel candi dan menjadi model pakem.

Istilah limasan sering menimbulkan bias pengertian, karena orang umumnya menganggap bahwa rumah limasan adalah rumah dengan bentuk atap seperti bangunan limas. Padahal istilah “limas” sendiri tidak dikenal dalam khasanah budaya Jawa. Istilah ini berasal dari istilah “gajahan”, atau bentuk konstruksi sisi atas dari kerangka atap disangga 4-6 buah tiang.

Gajah dalam bahasa Jawa sering diperhalus menjadi liman. Liman dirangkapkan lantas disebut limansap. Istilah limansap inilah kemudian terkenal dengan istilah limasan.

”Rumah tajug berkembang menjadi bentuk joglo, taju loro atau jug loro. Limasan dari kata Limansap atau gajah rangkap. Lalu dhapur kampung dari kata empyak katepung,” tulis T. E. Behrend dalam Katalog induk Naskah-Naskah Nusantara, memberikan uraian singkat mengenai Kawruh Kalang atau tata cara pembuatan rumah Jawa.

Demikian halnya dengan rumah limasan milik Irwan Prasetia itu juga memiliki cerita unik tersendiri.

“Setelah rumah itu terbeli dan dibongkar untuk dibawa ke Semarang, pemilik limasan itu baru cerita ke saya bahwa konon itu rumah bapaknya Sudwikatmono. Soeharto kecil pernah tinggal disana,” ujar Irwan menirukan penjual rumah itu.

Sudwikatmono dimaksud penjual rumah itu, adalah saudara sepupu Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia.

Sudwikatmono merupakan putra Prawirowihardjo, seorang mantri tani di Wuryantoro. Prawirowihardjo, tulis Probosutedjo dalam Saya dan Mas Harto: memoar romantika Probosutedjo, merupakan adik Kertosudiro, ayah kandung Soeharto. Pada usia 8 tahun, catat Probosutedjo, Soeharto dititipkan di Wuryantoro, Wonogiri, karena di daerah asalnya di Godean, Yogyakarta, tidak ada sekolah memadai.

Penjual rumah asal Wonogiri tersebut, kepada Irwan Prasetia, mengaku bahwa rumah limasan itu sudah berpindah tangan hingga 4 kali dan sudah berpindah lokasi sebanyak 4 kali pula. Lumrah bagi rumah Limasan dibongkar-pasang untuk pindah lokasi.

Tak ada data sejarah menerangkan bahwa rumah limasan itu adalah rumah tinggal Prawirowihardjo, paman Soeharto. Dalam memoar Probosutedjo pun sama sekali tidak mencatat keberadaan rumah limasan tersebut.

O G Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto juga hanya menulis bahwa kala itu kebanyakan rumah di Wuryantoro masih beratap rumbia dan dinding tepas, serta selalu dikapur putih setiap habis musim hujan. Lalu dalam buku Warisan (daripada) Soeharto juga hanya menjelaskan bahwa rumah Prawirowihardjo hanya berjarak 300 meter dari sekolah tempat Soeharto menempuh pendidikan di Sekolah Goebernemen Klas Doea atau Ongko Loro.

Meski, Irwan Prasetia tak ambil pusing dengan sejarah rumah limasan miliknya, tapi “bisa jadi ini adalah ujaran dari penjual rumah itu, namun kenapa ia baru cerita saat rumah sudah saya beli dan sudah dibongkar? Jika memang cerita itu sebagai jurus marketing, tentu dia cerita sebelum saya beli. Entahlah,” ujar pria penyuka barang antik ini.

Ia kini menyulap rumah limasan itu menjadi rumah singgah nan nyaman dengan beragam fasilitas modern. Rumah limasan itu pun kemudian diberikannya nama, Omah Sindip.

“Omah Sindip didedikasikan untuk pasangan suami isteri Tan Ing Hwat dan Raden Ayu Sindip. Tahun 1815, Raden Ayu Sindip puteri adipati Loano Gagak Handoko menikah dengan putera keluarga Tan yang bernama Tan Ing Hwat yang berasal dari Fujian, China. Antara tahun 1825 sd 1830 keluarga ini bersama dengan Adipati Gagak Handoko membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa,” pungkas Irwan Prasetia, 43 tahun, yang juga keturunan ketujuh Tan Ing Hwat kepada merahputih.com. (*) Achmad Sentot

Baca kisah terkait lainnya: Tan Ing Hwat-Raden Ayu Sindip, Nasib Tragis Pasangan Tionghoa-Jawa

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan