Naskah UU Cipta Kerja: Ada Perubahan Signifikan di Klaster Ketenagakerjaan
Senin, 12 Oktober 2020 -
MerahPutih.com - Naskah final Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) kini sudah tersedia dengan menyertakan nama Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin sebagai penandatangan. Dengan demikian, ia telah siap dikirimkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk diteken.
Namun, naskah yang beredar itu terdiri dari 1.035 halaman. Berbeda dengan draf UU Ciptaker yang sempat berbedar setelah disahkan dalam sidang paripurna pada pekan lalu hanya 905 halaman.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar membenarkan keberadaan naskah RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 1.035 halaman.
Baca Juga:
"Iya, itu yang dibahas terakhir yang 1.035 (halaman)," kata Indra kepada wartawan, Senin (12/10).
Indra tak membantah kebenaran substansi dari draf 905 halaman yang sebelumnya beredar. Menurut Indra, draf tersebut merupakan draf yang disahkan DPR pada sidang paripurna 5 Oktober 2020 lalu.
"Kemarin kan spasinya kan belum rata semua, hurufnya segala macam, nah sekarang sudah dirapikan," jelas dia.
Ternyata draf terbaru tersebut tak seperti yang disampaikan Indra. Bukan hanya tanda baca dan tiponya yang berubah, tetapi redaksional naskah juga berubah. Perubahan signifikan terjadi di klaster ketenagakerjaan.
Di antaranya, perubahan soal waktu cuti pada pasal 79 UU Ketenagakerjaan ditambahi satu poin huruf, yakni "Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu, upah satuan waktu yang sempat jadi keberatan serikat buruh juga masih ada dalam draf terbaru. Perubahan naskah juga cukup banyak dalam pasal-pasal mengenai PHK.
Dalam perubahan pasal 154A, ada tambahan "dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh".

Tak hanya itu, efisiensi sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat "diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian".
Dalam pasal yang sama, alasan penutupan perusahaan sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat "yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun".
Kemudian poin "perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh" sebagai alasan PHK yang termuat dalam tambahan aturan pasal 154A dihapuskan. Dalam draf terbaru, pasal tersebut kemudian dielaborasi lebih terperinci.
Di antaranya, PHK dengan alasan perbuatan merugikan oleh perusahaan harus diajukan oleh pekerja. Jenis tindakan yang merugikan juga dirinci seperti penganiayaan, penghinaan, ajakan melawan hukum, tak membayar upah lebih dari tiga bulan, melanggar perjanjian pada para pekerja, serta memberikan pekerjaan membahayakan jiwa dan kesehatan serta kesusilaan yang tak tercantum dalam perjanjian kerja.
Masih dalam pasal soal PHK, ada tambahan "adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja".
Baca Juga:
Gerakan Rakyat Pilih Aksi di Jalan untuk Tolak UU Cipta Kerja
Selanjutnya dalam draf terbaru juga dirinci syarat pekerja mengundurkan diri. Di antaranya permohonan selambatnya sebulan sebelum tanggal dimulai pengunduran diri, tak terikat dinas, dan menunaikan tugas sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Poin "buruh mangkir" sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat "pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis".
Selain itu, ada aturan baru dimasukkan bahwa PHK harus didahului surat peringatan (SP) sampai tiga kali berturut-turut. Sementara pada bab jaminan sosial, ditambahi klausul bahwa iuran jaminan kehilangan pekerjaan akan diatur lebih lanjut dan ditanggung pemerintah. (Pon)
Baca Juga