Menakar Peluang Gerindra Duduki Kursi Ketua MPR
Senin, 29 Juli 2019 -
MerahPutih.com - Hampir semua partai politik kini tengah memperebutkan kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Rebutan kursi orang nomor satu di MPR itu tak hanya terjadi di barisan parpol koalisi pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat Pilpres 2019, tetapi juga terjadi di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Mulanya hanya dua parpol yang secara terang-terangan mengincar posisi orang nomor satu di MPR: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Golkar. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bahkan telah meminta restu Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin.
Baca Juga: Alasan Kenapa Posisi MPR Banyak Diincar Partai
Cak Imin, saat menyambangi kediaman Ma'ruf pada Jumat 5 Juli 2019, dengan gamblang mengaku meminta restu agar sukses melobi kursi Ketua MPR. Tak hanya itu, Cak Imin juga akan mendiskusikan keinginan partainya untuk mendapatkan kursi Ketua MPR ke parpol-parpol koalisi Jokowi lainnya.
Senada dengan PKB, Golkar juga terang-terangan mengincar kursi Ketua MPR. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bahkan mengatakan keinginannya itu sudah disampaikan ke Presiden terpilih Jokowi dan parpol koalisi lainnya.

Kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menurut partai berlambang Ka'bah itu, kursi pimpinan MPR penting untuk mengawal konstitusi. PPP memiliki dua nama untuk dicalonkan sebagai Ketua MPR, yakni Sekjen PPP Arsul Sani dan PPP Arwani Thomafi.
Baca Juga: Tak Etis Jika Posisi Ketua MPR Diberikan ke Oposisi
Meski sudah pasti mendapat kursi Ketua DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengaku menargetkan posisi Ketua MPR untuk periode mendatang karena hendak memasukkan misi yang strategis dalam program MPR.
Motif PDIP dan Gerindra
Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan ada tiga opsi pembentukan paket pimpinan MPR. Opsi pertama pimpinan MPR bisa ditentukan secara aklamasi, dengan syarat calon ketua yang diajukan harus benar-benar bisa diterima semua partai.
Hendrawan menyebut contoh paling ideal ialah sosok mendiang Taufik Kiemas. Menurut dia, sosok Ketua MPR periode 2009-2013 itu dapat diterima semua fraksi dan mampu menjembatani komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pandangan.

Opsi kedua, kata Hendrawan, yakni dua paket pimpinan MPR. Namun Hendrawan memprediksi pemenang dari dua paket pimpinan MPR ini mudah ditebak. Sebab, ada kemungkinan partai-partai besar bergabung menjadi satu dalam satu paket.
Adapun opsi ketiga yang disebut Hendrawan cukup ekstrem, yakni adanya tiga paket pimpinan MPR. Jika demikian, maka sembilan partai yang lolos ke parlemen akan terbagi menjadi tiga kelompok. Setiap paket kemudian melibatkan dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dari kubu Gerindra mengakui jabatan Ketua MPR wajar diperebutkan. Ketua DPP Gerindra Sodik Mudjahid, menjelaskan penempatan kader Gerindra menjadi orang nomor satu di MPR bisa jadi solusi terbaik karena jabatan Ketua DPR secara otomatis diberikan kepada kader PDIP sebagai partai politik pemenang Pemilu 2019.
Syarat Rekonsiliasi?

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, fragmentasi antara partai politik selama ini hanya terjadi sesaat dalam Pilpres. Sebab setelah pesta demokrasi dan menjelang penentuan komposisi kabinet, partai-partai yang semula sedang "perang" punya kecendrungan untuk berkoalisi.
Baca Juga: Gerindra: Prabowo yang Bakal Tentukan Ketua MPR
Menurut Adi, korespondensinya terjadi sejak lama yakni pasca Pemilu 2004, 2009 bahkan 2014. Partai pengusung capres yang kalah berpotensi untuk melompat pagar masuk ke barisan koalisi pendukung pemerintah. Menurutnya, hal itu yang membuat politik Indonesia jadi menarik karena selalu ramai dan berdenyut setiap saat.
"Belum kelar bicara soal komposisi kabinet, sekarang sudah ramai soal komposisi MPR, tentang siapa yang harus menjadi pimpinan. Ini bukan ramai karena Golkar dan PKB begitu agresifnya merebutkan posisi ketua MPR. Tapi karena ada keinginan Gerindra seakan-akan ingin menyertakan satu klausul rekonsiliasi itu berbasiskan akumulasi politik berbasiskan sharing power itu," ujar Adi saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Peluang kader Gerindra menjadi ketua MPR masih terbuka lebar. Namun, dengan catatan PDIP sebagai pemenang Pemilu mau memberikan karpet merah kepada partai besutan Prabowo Subianto itu.
Adi lantas mencontohkan ketika SBY kembali memenangkan Pilpres 2009. Di periode kedua pemerintahan SBY itu, korespondensinya sederhana, yakni dengan mengakomodasi kelompok oposisi yang satu-satunya diperankan oleh PDIP.
"Dan kebetulan tokohnya (Taufik Kiemas) cukup eksis di semua kalangan jadi nggak perlu repot-repot SBY. Padahal kalau mau jujur SBY 62% kemenangan saat itu. Tidak membutuhkan komposisi oposisi. Tapi karena design ketatanegaraan, dasar negara kita itu dasar filosofisnya menjaga harmoni keseimbangan maka PDIP yang konsisten menjadi opisisi pada saat itu relatif didukung untuk menjadi ketua MPR, ada Taufik Kemas," kata Adi.
Baca Juga: Prabowo Temui Mega, Lobi Gerindra Pagari Kursi Ketua MPR?
Sejalan dengan itu, mayoritas kursi di parlemen saat ini dikuasai partai pendukung Jokowi. Menurut Adi, yang menarik kalau kursi ketua MPR diberikan kepada kader Gerinda.
Namun, Adi memprediksi PKB tak mungkin rela memberikan kursi nomor satu di MPR kepada kader Gerindra ataupun Golkar sebagai partai pemenang Pemilu ke-2 setelah PDIP.
"Di tengah-tengah kemungkinan itu saya cukup sederhana, kok sepertinya pimpinan MPR akan tetap diambil oleh partai pengusungnya Jokowi. Saya cukup yakin itu. Jadi kalau pun Gerindra mau mungkin tidak di pimpinan, di wakil atau di tempat yang lain sebagai bagian dari akomodasi politik," tutur dia.
Baca Juga: Menebak Arti Silaturahmi Politik Airlangga Hartarto dan Cak Imin
Kondisi demikian persis seperti yang disampaikan Presiden Amerika Serikat ke-35 John Fitzgerald Kennedy: "Kemenangan memiliki seribu ayah, tapi kekalahan adalah seperti keadaan anak yatim piatu.”
"Jadi banyak orang yang merasa tiba-tiba memiliki hak untuk mengklaim kemenangan itu. Semuanya merasa paling berhak. Jadi wajar, kalau di internal koalisi Jokowi semuanya merasa berhak. PDIP merasa paling tinggi merasa paling berhak. Golkar juga merasa sebagai partai pemenang kedua merasa paling berhak, PKB apalagi, dan seterusnya," bebernya.
Kawin Silang Dua Kubu

Menurut Adi, bisa saja terjadi kawin silang antara kelompok pendukung Prabowo dengan kelompok pendukung Jokowi. Namun perkawinan silang antara dua kelompok yang sempat menjadi viral dalam Pilpres 2019 harus berjalan secara alamiah.
"Karena bukan MPR-lah yang menjadi satu-satunya domain yang akan ramai satu-satunya di Senayan. Nanti juga komposisi di komisi 1 sampai komisi 11 juga akan terjadi kawin silang antara pendukung 01 dan pendukung 02," imbuhnya.
Baca Juga: Elite Gerindra Bocorkan Posisi Jokowi di Pertemuan Prabowo-Mega
Dengan demikian, lanjut dia, perebutan Ketua MPR hanya perkara elektoral biasa, yang jenjangnya akan selalu dilanjutkan dengan agenda politik lainnya. Seusai pimpinan MPR terbentuk, perhatian publik akan beralih ke Pilkada 2020. Partai-partai yang selama proses Pemilu 2019 mengalami fragmentasi ekstrem akan bertemu bahkan berkoalisi.
"Jadi nggak kebayang kalau PDIP dan PKS nyatu. Satu memiliki ideologi yang menurut orang agak susah ditemukan, tapi dalam berbagai kepentingan dua partai ini, dalam tanda kutip ekstrim kanan dan ekstrim kiri ini bertemu. Kita perlu mengedukasi publik, mengedukasi kita semua bahwa politik kita adalah politik yang cair, politik pertemanan, politik persahabatan," tutup Adi Prayitno. (Pon)