Kombinasi Obat COVID-19 Ditolak BPOM, Tim Peneliti Unair Segera Sempurnakan Uji Klinik

Kamis, 20 Agustus 2020 - Andika Pratama

MerahPutih.com - Tim Peneliti Kombinasi Obat COVID-19 Universitas Airlangga (Unair), bersama TNI dan BIN segera melakukan tindakan lanjutan setelah permintaan izin edar ditolak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Rektor Unair Prof. Moh. Nasih mengatakan, tim peneliti akan segera mengevaluasi dan membenahi uji klinik yang sudah dilakukan sebelumnya.

Baca Juga

BPOM Nyatakan Obat COVID-19 Unair Belum Valid karena Beberapa Penyebab

“Seperti halnya masukan dari BPOM kemarin. Yah langkah berikutnya, tim peneliti juga menunggu dan mempelajari semua masukan tertulis dari BPOM tersebut,” ujar Prof. Nasih saat dikonfirmasi, Kamis (20/8).

Ia menambahkan, pihaknya dan para ilmuwan tim peneliti terbuka untuk menerima saran dan masukan dari berbagai pihak. Langkah itu pun dilakukan demi kepentingan bersama.

“Harapan utamanya agar hasil dari kombinasi obat tersebut segera bisa membantu mereka para pasien yang saat ini sangat membutuhkan penanganan,” tandasnya.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)

Prof. Nasih menegaskan bahwa ikhtiar ini bersama untuk memberi jalan keluar untuk bangsa Indonesia untuk bersama-sama menghadapi pandemi virus COVID-19.

“Atas masukan BPOM tersebut maka Tim Peneliti Unair segera mengambil langkah cepat untuk melalukan pembenahan bahkan menyempurnakan uji klinis sesuai masukan BPOM yang sudah disampaikan,” pungkas Prof Nasih.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan hasil inspeksi terhadap obat COVID-19 yang dikembangkan Unair, BIN dan TNI AD. Hasilnya, BPOM menemukan bahwa proses uji klinis obat COVID-19 yang dikembangkan itu belum valid. Ada banyak hal yang masih harus diperbaiki agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapat izin edar BPOM.

“Dalam status yang kami nilai adalah masih belum valid dikaitkan dengan hasil inspeksi kami," kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam konferensi pers virtual kepada wartawan.

Penny mengatakan, pihaknya melakukan inspeksi terhadap proses uji klinis pada 28 Juli 2020. Adapun uji klinis dimulai pada 3 Juli lalu. Dari hasil inspeksi itu, muncul temuan kritis berupa tidak terpenuhinya unsur randomisasi atau pengacakan subjek uji klinis.

Padahal, subjek dari suatu riset harus memenuhi unsur pengacakan agar merepresentasikan populasi. Pengacakan itu berkaitan dengan keberagaman subjek penelitian, seperti variasi demografi, derajat kesakitan, hingga derajat keparahan penyakit dari yang ringan, sedang, hingga berat.

Subyek yang diintervensi dengan obat uji ini tidak merepresentasikan keberagaman tersebut karena itu bagian dari randomisasi acaknya itu yang merepresentasikan validitas dari suatu riset," ujar Penny.

Penny mengungkap, proses uji klinis yang dilakukan Unair bersama TNI AD dan BIN ternyata melibatkan orang tanpa gejala (OTG) untuk diberi terapi obat. Padahal, sesuai dengan protokol uji klinis, OTG seharusnya tidak perlu diberi obat.

Selanjutnya, hasil uji klinis obat COVID-19 itu juga belum menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan terapi lainnya. Padahal, untuk dapat dinyatakan valid, uji klinis harus menunjukkan hasil yang signifikan.

Baca Juga

Virologi UGM Sebut Vaksin Sinovac Bukan Solusi Hentikan Pandemi

"Suatu riset itu harus bisa menunjukkan bahwa sesuatu yang diintervensi baru tersebut memberikan hasil yang cukup signifikan, berbeda dibandingkan dengan terapi yang standar," tutur Penny.

Penny mengatakan, BPOM telah menyampaikan temuan inspeksi ini ke pihak Unair, TNI AD, dan BIN. BPOM pun meminta tim pengembang untuk memperbaiki proses penelitian mereka. (Andika Eldon/Jawa Timur)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan