Ketika Protes Berujung Perusakan: Menyingkap Arti dan Dampak Vandalisme
Sabtu, 30 Agustus 2025 -
MerahPutih.com - Gelombang demo merupakan dari dinamika sosial-politik di Indonesia. Massa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka terhadap berbagai isu, mulai dari kebijakan pemerintah, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga persoalan lingkungan dan lainnya.
Suasana aksi sering kali berjalan damai. Namun tidak jarang berakhir ricuh ketika emosi massa memuncak atau ketika terjadi benturan dengan aparat keamanan serta aspirasi yang tidak tersalurkan.
Dalam kondisi seperti tersebut, kerap menyaksikan fasilitas umum dirusak, dinding-dinding dipenuhi coretan, hingga kendaraan umum atau pos polisi dibakar. Fenomena inilah yang sering disebut sebagai tindakan vandalisme.
Dikutip dari berbagai sumber, ssecara sederhana, vandalisme dapat diartikan sebagai perbuatan merusak atau menghancurkan fasilitas publik maupun milik pribadi dengan sengaja.
Baca juga:
Presiden Prabowo Perintahkan Polisi dan TNI Tindak Tegas Perusuh Saat Demo Berlangsung
Kata ini berasal dari nama suku Vandal, sebuah bangsa Jermanik Timur yang dikenal dalam sejarah Eropa karena merusak kota Roma pada abad ke-5. Dari peristiwa itulah muncul istilah “vandalisme” yang kini identik dengan tindakan perusakan yang tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks hukum, vandalisme termasuk perbuatan melanggar aturan karena merugikan kepentingan umum. Undang-undang di Indonesia mengategorikan vandalisme sebagai tindak pidana, misalnya pencemaran, perusakan barang, atau perbuatan tidak menyenangkan yang merusak estetika ruang publik.
Bentuknya bisa beragam: mulai dari mencoret-coret tembok, merusak halte, menghancurkan rambu lalu lintas, hingga membakar fasilitas umum saat demonstrasi berlangsung.
Namun, menariknya, tidak semua vandalisme lahir dari niat merusak semata. Dalam studi sosial, vandalisme sering dipandang sebagai bentuk ekspresi protes atau perlawanan simbolis terhadap sistem yang dianggap menekan.
Coretan di dinding, misalnya, bisa menjadi medium untuk menyampaikan kritik politik, menyuarakan ketidakpuasan, atau sekadar menandai keberadaan kelompok tertentu. Di banyak negara, aksi vandalisme bahkan menjadi bagian dari budaya jalanan yang menantang otoritas.
Meski begitu, dampak negatif vandalisme tidak bisa diabaikan. Perusakan fasilitas publik menyebabkan kerugian materi, menurunkan kualitas lingkungan kota, dan dapat membahayakan keselamatan masyarakat.
Bayangkan rambu lalu lintas yang dicoret hingga tak terbaca, atau halte bus yang dirusak sehingga tidak lagi bisa digunakan. Tindakan semacam ini pada akhirnya merugikan masyarakat luas, termasuk mereka yang tidak terlibat dalam aksi protes.
Di Indonesia, fenomena vandalisme kerap muncul bersamaan dengan demonstrasi besar. Aksi membakar ban, merusak pos polisi, atau mencoret dinding gedung pemerintahan sering dijadikan sorotan media.
Tidak jarang pula, tindakan tersebut mengaburkan pesan utama dari demonstrasi itu sendiri, sehingga isu penting yang seharusnya menjadi fokus justru tenggelam oleh pemberitaan mengenai kerusuhan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami vandalisme dalam dua sisi: sebagai bentuk ekspresi sosial yang lahir dari ketidakpuasan, tetapi juga sebagai perbuatan yang membawa konsekuensi hukum dan kerugian nyata.
Kesadaran inilah yang perlu ditanamkan, baik kepada peserta aksi maupun masyarakat luas. Demonstrasi semestinya menjadi ruang demokratis untuk menyuarakan aspirasi, bukan ajang merusak yang justru melemahkan pesan perjuangan.
Dengan demikian, memahami pengertian vandalisme bukan hanya soal mengenali bentuk perusakan, tetapi juga mengajak kita berpikir kritis: bagaimana sebuah protes dapat disalurkan secara kreatif tanpa merugikan kepentingan bersama. (Far)