Ini Jejak Tradisi Donasi Orang Indonesia
Selasa, 05 Juli 2022 -
Dugaan penyelewengan dana donasi oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT), lembaga kemanusiaan, terus bergulir. DPR telah meminta pemerintah membuat aturan baru terkait lembaga donasi dan kemanusiaan.
Aturan tentang lembaga donasi dan kemanusiaan masih bersandar paada UU tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980. Aturan baru bertujuan mencegah kecurangan lembaga donasi dan kemanusiaan. Kepercayaan itu penting untuk menjamin tradisi donasi masyarakat Indonesia tak disalahgunakan.
Baca juga:
ACT Klaim Lakukan Pemotongan Besaran Gaji sampai 70 Persen

Donasi punya jejak tradisi panjang di Indonesia. Donasi berarti sumbangan berupa uang. Ia termasuk juga dalam konsep filantropi.
"Secara harfiah filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services), dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta,” catat Chusnan dalam Filantropi Modern untuk Pembangunan Sosial termuat di Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12. No 1 Tahun 2007.
Sebelum uang dikenal, sumbangan biasanya diwujudkan dengan pemberian emas, perak, hewan, dan tenaga. Sumbangan masa ini berlandas pada ajaran Hindu dan Budha, sesuai dengan agama yang berkembang saat itu di Nusantara.
Bukti tertulis awal jejak donasi di Indonesia bersumber pada Prasasti Yupa dari abad ke-5 M. Prasasti itu menyebut kedermawanan Raja Mulawarman di Kutai (Kalimantan Timur) menyumbang 20.000 sapi kepada pendeta.
Naskah Desawarnana dan Negarakrtagama dari abad ke-14 M, mengabadikan kebiasaan donasi di lingkungan keraton Majapahit. Misalnya kebiasaan raja memberikan emas kepada masyarakat sebagai wujud rasa syukur.
Baca juga:

Donasi raja menjadi contoh bagi rakyat agar gemar berdonasi. Namun, donasi rakyat berbeda dari donasi raja. Rakyat berdonasi menggunakan tenaganya untuk membangun candi atau bendungan secara bersama-sama. Karena itulah, donasi sering pula lekat dengan konsep gotong-royong.
"Di sini kita menghadapi kenyataan bahwa bangunan-bangunan besar yang juga disebut buat haji, memerlukan banyak tenaga kerja,” ungkap Sartono Kartodirdjo dalam “Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong-Royong dalam Perkembangan Masyarakat Indonesia” termuat dalam Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah."
Donasi berlanjut pada Masa kesultanan Islam. Sebelum masa ini, donasi diisi oleh semangat Hindu dan Budha. Pada masa Islam, donasi berlandas pada ajaran Islam seperti zakat, wakaf, dan sedekah. Beberapa kesultanan bahkan membentuk lembaga donasi resmi.
Tome Pires, seorang penjelajah samudera dari Portugis pada abad ke-15, merekam kegiatan filantropi penguasa dan rakyat kesultanan di pantai utara Jawa dalam Suma Oriental Perjalanan Dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues.
“Para moor (sebutan Pires untuk orang Islam tempatan-Red.) memberinya sedekah dan mereka akan sangat bahagia jika pertapa ini berkunjung ke rumah-rumah mereka, ” ungkap Tome Pires.
Pada masa kolonial abad ke-19, catatan penyalahgunaan donasi mulai tersua. "Banyak orang menyamar sebagai guru, hanya dengan maksud untuk mendapat hak semu atas hadiah-hadiah yang saleh (zakat, fitrah, sedekah) dari jemaah yang baik,” tulis Snouck dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889—1936,"
Meski terdapat penyalahgunaan donasi, semangat berdonasi tetap tinggi hingga hari ini. Tolong jangan ditilap, dong!
Baca juga:
Bareskrim Polri Mulai Usut Kasus Dugaan Penyelewengan Dana Umat oleh ACT