IJTI Tolak Draf RUU Penyiaran, Meminta Semua Pihak untuk Mengawal
Selasa, 14 Mei 2024 -
MERAHPUTIH.COM - IKATAN Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menolak draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. IJTI meminta semua pihak untuk mengawal draf UU Penyiaran yang sedang digodok Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan juga mendesak DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik.
"Kami meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," kata Herik di Gedung Dewan Pers Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (14/5).
Oleh karena itu, Herik meminta DPR untuk secepatnya mencabut draf revisi RUU Penyiaran karena akan berpotensi mengancam kebebasan pers. "Kami menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut," tuturnya.
Baca juga:
Dewan Pers Kritik Draf RUU Penyiaran Amanatkan KPI Tangani Sengketa Jurnalistik
IJTI, kata Herik, memperhatikan draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun substansi.
Pemerintah bersama DPR berencana merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Recana itu telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR telah dibahas di Baleg DPR RI pada 27 Maret 2024.
"Dari proses penyusunan, IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers," ucap Herik.
Herik menyebut, dalam draf revisi UU Penyiaran, terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
Baca juga:
Akui Tuai Kontroversi, DPR Pastikan Draf RUU Penyiaran Belum Final
Herik menyebut dalam darf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
"IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi? Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigas disiarkan di televisi," kata Herik.
Secara subtansi, kata Herik, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di Tanah Air.
Upaya tersebut tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, revisi RUU Penyiaran dikhawatirkan akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas.(asp)
Baca juga:
Soal RUU Penyiaran, Anggota DPR Klaim Tak Berniat Bungkam Kebebasan Pers