Dua Alasan Tuntutan Pidana Mati Terhadap Heru Hidayat Tidak Tepat Versi Pakar Hukum

Selasa, 07 Desember 2021 - Angga Yudha Pratama

MerahPutih.com - Tuntutan hukuman mati terhadap Presiden PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi Asabri dinilai tidak tepat.

Menurut Pakar Hukum Tindak Pidana Korupsi, Nur Basuki Minarno menilai terdapat dua alasan mengapa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung tersebut tidak tepat.

“Yang pertama alasananya karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi (UU Tipikor) tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU),” kata Nur kepada wartawan, Selasa (7/12).

Baca Juga

Kejagung Sita 8 Lapangan Golf Milik Heru Hidayat Terkait Kasus Asabri

Nur mengatakan JPU hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dalam surat dakwaannya. Dalam pasal tersebut, tidak ada ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa. Ancaman pidana hukuman mati justru terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang tidak disertakan dalam surat dakwaan JPU terhadap Heru Hidayat.

"Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana,” jelas dia.

Alasan kedua, tindak pidana yang dilakukan oleh Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Pasalnya, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri. Menurut Nur, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan di mana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.

"Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana,” tandas dia.

Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, ttidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” tandas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga ini.

Baca Juga

Kejagung Sita 17 Kapal Milik Heru Hidayat dalam Kasus Korupsi Asabri

Konkursus realis ini, kata Nur berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

“Kalau pengulangan tidak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” pungkas Nur.

Diketahui, Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati. Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.

Menanggapi tuntutan jaksa, kuasa hukum Heru Hidayat Kresna Hutauruk, menyatakan tuntutan mati terhadap Heru Hidayat berlebihan dan menyalahi aturan. Pasalnya, dalam surat dakwaan Heru Hidayat, jaksa tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang mengatur terkait ancaman hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dalam UU Tipikor.

"Dalam Dakwaannya JPU mendakwa Heru Hidayat dengan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU. Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power," kata Kresna dalam keterangannya, Senin (6/12).

Baca Juga

Kasasi Ditolak, Bentjok dan Heru Hidayat Tetap Divonis Seumur Hidup

Apalagi, kata Kresna, penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor mengatur sejumlah syarat atau keadaan tertentu yang memungkinkan ancaman hukum mati, yakni ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Menurut Kresna, kondisi tertentu yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak terjadi dalam perkara Heru Hidayat.

“Di mana dalam perkara Heru Hidayat, syarat dan kondisi tersebut tidak ada. Dari awal surat dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU tipikor ke dalam dakwaannya, kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati,” pungkas Kresna. (Pon)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan