DPR Buat Pasal 218 RKUHP untuk Pidanakan Wartawan Asing Hina Kepala Negara

Selasa, 24 September 2019 - Angga Yudha Pratama

Merahputih.com - Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Teuku Taufiqulhadi mengatakan pasal 218 RUU tersebut dibuat untuk melindungi kehormatan kepala negara dari hinaan warga negara asing (WNA)

"Itu untuk melindungi Kepala Negara kita yang mungkin dihina. Siapa yang menghina? Kalau datang wartawan asing ke Indonesia lantas dia menghina Kepala Negara kita. Atau datang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing ke Indonesia yang menghina Kepala Negara kita," ujar Taufiqulhadi, Senin (24/9).

Baca Juga:

Perppu KPK Bisa Kembalikan Citra Positif Presiden Jokowi

Selain untuk melindungi Kepala Negara sendiri, RKUHP juga penting dibuat untuk melindungi kehormatan Kepala Negara lain oleh pihak asing yang berkunjung ke wilayah teritorial Indonesia.

"RKUHP juga untuk mempidana wartawan asing yang datang ke Indonesia dan menghina Kepala Negara Asing di tanah dan teritorial Indonesia," ujar dia.

Sehingga, ia menegaskan menolak jika pasal tersebut dibuat untuk mencederai demokrasi sehingga membuat situasi kondusif pascareformasi menjadi tidak demokratis lagi.

"Pasal itu kami buat dalam konteks jangan sampai Kepala Negara dihina orang-orang yang tidak kita kehendaki," kata Anggota Dewan Pakar Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu.

Sidang Paripurna
Sidang Paripurna DPR, Selasa (17/9). (MP/Kanugrahan)

Dalam Pasal 218 RKUHP dijelaskan bahwa setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wapres dipidana dengan pidana paling lama tiga tahun, enam bulan, atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Terminologi penghinaan dikatakan tidak jelas karena dapat ditafsirkan sembarang. Namun Taufiqulhadi mengatakan jika pascareformasi ada hak mengajukan kritik, maka perlu diatur juga tentang kewajibannya sehingga tidak menjurus kepada kritik yang bersifat personal dan tidak faktual.

"Kritik silakan, tapi jangan menghina. Kalau menghina itu personal dan bukan faktual," ujar Taufiqulhadi.

Baca Juga:

Alasan Pasal Santet Ada di RKUHP

Ia mencontohkan bila menghina itu seperti menyamakan muka orang tersebut dengan muka binatang, itu dikatakan menghina. Tapi kalau mengatakan pemerintah gagal membangun Indonesia, itu adalah mengkritik.

Menurut Taufiqulhadi, sebagaimana dikutip Antara, kritik adalah sesuatu yang dibolehkan dan harus dihidupkan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun jika menghina personal, itu yang ingin dilarang dalam Pasal RKUHP itu. (*)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan