Uji Coba Plasma Konvalesen di AS Dihentikan


Uji coba ini dihentikan. (Foto: nbcnews.com)
NATIONAL Institutes of Health (NIH), AS menghentikan uji coba plasma darah konvalesen dari pasien sembuh untuk pasien dengan gejala COVID-19 ringan hingga sedang setelah kelompok independen menyimpulkan bahwa terapi itu tidak mungkin bermanfaat.
Pada bulan Januari, REMAP-CAP, sebuah uji klinis internasional yang mengeksplorasi pengobatan potensial untuk COVID-19, menghentikan studinya yang menguji plasma darah konvalesen setelah para peneliti uji coba tidak menemukan manfaat. Menyusul pada Selasa (2/3), NIH menyatakan bahwa pihaknya menghentikan uji coba yang sama.
Baca juga:
Data and Safety Monitoring Board (DSMB) bertemu pada 25 Februari untuk meninjau data dan menentukan bahwa sementara pengobatan plasma tidak menyebabkan kerusakan, itu tidak mungkin menguntungkan kelompok pasien gejala ringan dan sedang. Demikian pernyataan NIH dalam rilisnya. Setelah pertemuan tersebut, DSMB merekomendasikan agar NIH berhenti mendaftarkan pasien baru ke dalam penelitian tersebut.

Plasma, yang diambil dari pasien yang telah pulih dari COVID-19 dan mengembangkan antibodi melawan virus, diinfuskan pada pasien yang sakit. Para ilmuwan berharap itu akan membantu memulai sistem kekebalan pada pasien tersebut untuk melawan virus.
Ilmuwan dan pejabat kesehatan masyarakat sebelumnya mengatakan mereka skeptis plasma darah konvalesen dapet menjadi terapi pengobatan yang efektif untuk pasien dengan COVID-19. Keraguan ini tetap ada bahkan setelah Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan otorisasi penggunaan darurat untuk pengobatan pada bulan Agustus. Saat itu, mantan komisaris FDA Dr. Scott Gottlieb mengatakan, pengobatan tersebut mungkin membantu pasien tetapi tidak terlihat seperti home run.
Baca juga:
Uji coba NIH dilakukan di 47 unit gawat darurat rumah sakit di seluruh Amerika Serikat dan telah mendaftarkan 511 dari 900 pasien yang direkrut. Setelah pasien atau peserta penelitian menerima plasma atau plasebo, peneliti melacak apakah mereka perlu perawatan IGD/UGD lebih lanjut, harus dirawat di rumah sakit, atau meninggal dalam 15 hari setelah memasuki uji coba.

Pasien-pasien ini juga memiliki setidaknya satu faktor risiko yang terkait dengan COVID-19 parah, seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit jantung, atau penyakit paru-paru kronis, tetapi tidak ada yang cukup sakit pada saat dirawat di rumah sakit. Analisis data terbaru dari penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam proporsi peserta yang mengalami salah satu tingkat keparahan.
REMAP-CAP sendiri menghentikan studinya yang menguji plasma darah konvalesen setelah analisis awal terhadap lebih dari 900 peserta percobaan yang sakit parah dalam perawatan intensif menunjukkan bahwa pengobatan dengan cara ini tidak secara nyata meningkatkan kondisi kesehatan pasien. (aru)
Baca juga:
LIPI Tegaskan Masker Kain Sulit Terurai, Beda dengan Masker Medis
Bagikan
Berita Terkait
Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas

Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan

Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak

Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian

DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar
