Tidak Ada Kegentingan yang Memaksa Presiden Jokowi Terbitkan Perppu KPK


Anggota DPR dari Fraksi PDIP Ansy Lema (Foto: Dok Pribadi)
MerahPutih.Com - Anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Ansy, Perppu KPK adalah hak subjektif presiden dan sifatnya sementara saja. Berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa sebaiknya mengajukan gugatan atas UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar keputusannya mengikat dan permanen.
Baca Juga:
Pakar Hukum Tata Negara: Presiden Jokowi Tidak Bisa Dimakzulkan Hanya Karena Perppu
Mantan aktivis 1998 itu mengatakan, tidak ada kondisi “kegentingan” yang memaksa Presiden menerbitkan Perppu KPK. Tidak pula ada kekosongan hukum yang mengharuskan perlu diterbitkan Perppu.

“Saya menilai demonstrasi mahasiswa bukan kondisi kegentingan memaksa. Suara mereka didengar, direspons secara baik oleh Presiden dan DPR. Presiden dan DPR tidak menutup telinga, justru mendengar suara-suara di ruang publik," kata Ansy dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (5/10) kemarin.
Ia menilai, respons itu sudah dibuktikan melalui penundaan pengesahan RUU KHUP, RUU Minerba, RUU PKS dan RUU Pertanahan. Empat dari lima tuntutan mahasiswa dipenuhi Presiden. Bahkan Presiden mengundang mahasiswa untuk berdiskusi, namun ditolak mahasiswa.
"Itu menunjukan bahwa Presiden dan DPR terbuka terhadap koreksi dan sadar bahwa proses pengambilan keputusan politik bisa keliru. Ini yang oleh filsuf Karl Popper disebut konsep falsifikasi dalam proses pengambilan kebijakan,” ujar Ansy.
Wakil rakyat asal NTT itu mengatakan, Presiden dan DPR sudah mengakui ada prinsip falsifikasi (bisa salah) dalam demokrasi.
Artinya, keputusan politik bisa salah, maka perlu dikoreksi dan revisi. Pengakuan akan kesalahan itu membuka ruang bagi koreksi agar produk legislasi menjadi semakin berkualitas dan mampu menjadi engsel bagi kehidupan bernegara.
Itulah proses dialektika dalam demokrasi kita dewasa ini. Ini bukti kualitas demokrasi kita makin maju karena institusi politik selalu terbuka untuk dikritik dan dikoreksi. Presiden Joko Widodo tidak anti kritik.
“Terkait ini pemikir Jurgen Habermas menekankan pentingnya proses penalaran dialektis dalam pengambilan keputusan publik”, jelas Ansy.

Ansy mengatakan, tentu saja korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan, sebagaimana disuarakan mahasiswa.
Karena itu, ia misalnya secara pribadi berkomitmen untuk hanya akan menerima uang yang ada potongan pajaknya dan tidak menerima gratifikasi. Pejabat publik juga tidak boleh terjebak pada konflik kepentingan (conflict of interest). Akar korupsi adalah karena pejabat tidak bebas dari konflik kepentingan.
“Pejabat publik jatuh karena orang dekat (suami, istri, anak, ponakan, kakak, adik saudara dan tim pemenangan) yang minta proyek. Maka saya akan tegas terlebih dahulu terhadap orang dekat saya. Jangan ada yang manfaatkan kekuasaan untuk main proyek, untuk perkaya diri,” tegasnya.
Namun, kata dia, lembaga hukum seperti KPK harus siap untuk dikoreksi dan direvisi. Lembaga yang tidak mau diawasi dan dikoreksi justru mengangkangi semangat demokrasi.
Maka, pengawasan terhadap KPK penting dalam sistem demokrasi. KPK memiliki wewenang penyadapan dan penangkapan.
"Untuk mencegah terjadinya abuse of power, keberadaan lembaga pengawas menjadi sangat penting. Lembaga pengawas harus dipikirkan seperti apa modelnya. Aneh jika dalam sistem demokrasi, masih ada lembaga publik yang imun terhadap pengawasan," ungkapnya.
Baca Juga:
Surya Paloh Sebut Jokowi Bisa Dilengserkan Karena Perppu, Eks Ketua KPK: Mau Impeachment Pakai Apa?
Ansy mengatakan, tidak semua keputusan politik Presiden bisa memuaskan semua pihak. Pasti ada yang tidak puas. Jika ada yang tak puas dengan keputusan Presiden terkait UU KPK, bisa ditempuh melalui mekanisme konstitusional, yakni mengajukan gugatan ke MK.
"Keputusan MK lebih pasti dan mengikat. Perppu bersifat sementara, dan ketika hendak dijadikan UU, Presiden mesti meminta persetujuan DPR. Judicial Review ke MK adalah saluran konstitusional yang disediakan dalam sistem demokrasi," pungkas Ansy Lema.(Knu)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Profil Rahayu Saraswati, Cucu Pendiri BNI dan Keponakan Prabowo yang Lepas Kursi DPR Usai Ucapan Kontroversial

Arahan Prabowo untuk Anggota DPR Fraksi Gerindra: Harus Mawas Diri dan Jaga Ucapan serta Perilaku

Jam Tangan hingga Sertifikat Tanah Sudah Dikembalikan, Ahmad Sahroni Janji tak Bawa ke Jalur Hukum

Politikus PKS Usul Perampasan Aset Disatukan Dengan Revisi Undang-Undang KPK, Hindari Aparat Gunakan Sebagai Alat Pemerasan

Profil Rusdi Masse, Mantan Sopir Truk dan Bupati yang Geser Ahmad Sahroni dari Jabatan Pimpinan Komisi III DPR

Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach Dinonaktifkan, NasDem Beri Sinyal PAW di DPR

Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach Bikin Blunder Fatal, NasDem Janji Bakal Berbenah

Audiensi dengan Elemen Mahasiswa, Dasco Pastikan Tunjangan Rumah Anggota DPR Disetop per 31 Agustus 2025

Jadi Perdebatan Publik, Golkar Tegaskan Anggota DPR Nonaktif tak Terima Gaji dan Tunjangan

7 Terduga Pelaku Penjarahan di Rumah Uya Kuya Diproses Hukum, Polisi Sita Barang Bukti Kucing yang Ikut Dicuri
