Sentimen Anti Kolonial Jadi Pemicu Utama Problem Kodifikasi RKUHP

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Senin, 18 Juni 2018
Sentimen Anti Kolonial Jadi Pemicu Utama Problem Kodifikasi RKUHP

Ilustrasi (Pixabay)

Ukuran:
14
Audio:

MerahPutih.com - Isu kodifikasi dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menyeruak, persoalannya adalah ketika pemerintah mengklaim bahwa RKUHP tidak melemahkan “tindak pidana khusus”.

Namun menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), banyak hal yang terlewatkan oleh pemerintah dan DPR berdasarkan draft terakhir 28 Mei 2018, yang paling rumit soal masalah kodifikasi dan persoalan aturan peralihan yang belum jelas.

"Kodifikasi seharusnya mempermudah pembaca undang-undang untuk memahami aturan yang memiliki rumpun yang sama dengan lebih sistematis," kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara kepada MerahPutih.com, Senin (18/6)

Ada beberapa poin yang jadi perhatian ICJR. Pertama, ketidakjelasan yang dimaksud core crime. Pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa beberapa ketentuan dari undang-undang sektoral yang kemudian dicopy paste ke dalam RKUHP merupaka delik yang bersifat core crime. "Dalam konteks ini, ICJR sesungguhnya tidak memahami apa yang dimaksud Pemerintah dan DPR soal Core Crime," ucapnya.

RKUHP, terang dia, merupakan undang-undang kodifikasi, bukan umbrella act. Dalam konteks ini, maka perlu adanya suatu delik yang sekedar hanya cantolan di suatu undang-undang kodifikasi tidak diperlukan.

"Justru, apabila Pemerintah dan DPR menganggap RKUHP sebagai undang-undang kodifikasi, maka keseluruhan delik harusnya dimasukkan ke dalam RKUHP. Inskonsistensi ini yang menjadi salah satu akar masalah," ujarnya.

Kedua, soal ketidakjelasan asas dan ketentuan penyimpangan Buku I di undang-undang sektoral. Pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa hanya beberapa ketentuan core crime yang masuk ke RKUHP maka UU Sektoral masih berlaku. "Hal ini memang tepat. Namun masalah timbul, bagaimana RKUHP memastikan ketentuan penyimpangan yang khusus untuk UU sektoral masih berlaku bagi ketentuan dalam UU sektoral yang sudah dimasukkan ke RKUHP?," imbuhnya.

Secara teknis, apabila satu delik, misalnya pasal 2 UU Tipikor, dimasukkan ke dalam buku II RKUHP menjadi Pasal 687 RKUHP, maka nantinya pasal 687 RKUHP harus merujuk buku I RKUHP, bukan lagi UU Tipikor. Masalah muncul, karena dalam konteks ini pemerintah dan DPR tidak secara cermat dan detail menjelaskan penyimpangan beberapa ketentuan dalam UU Tipikor ke dalam RKUHP. "Misalnya soal percobaan dan permufakatan jahat yang didipidana sama dengan perbuatan selesai sehingga ancaman pidananya sama dengan delik utamanya dalam UU Tikpikor, tidak ada dalam RKUHP," tuturnya.

Hal tersebut juga menjawab soal asas retroactive atau semua asas dalam pidana pelanggaran berat HAM dalam RKUHP. Mencabut delik dalam UU Pengadilan HAM, namun tidak secara tegas menyebutkan kekhususannya dalam RKUHP akan mengakibatkan hilangnya pengaturan itu. "Sebab, penyimpangan terhadap buku I (dalam Pasal 205 ayat (1) RKUHP) soal retroactive, tanggung jawab komando, dll hanya berlaku bagi delik pidana dalam UU Pengadilan HAM, bukan Buku II RKUHP, sekalipun delik pidana tersebut ada dalam Bab Tindak Pidana Khusus yang juga tidak berdampak apa-apa," jelas dia.

Ilustrasi (pixabay)

Ketiga, lanjut Anggara, RKUHP membuka ruang duplikasi dan keraguan. Secara asas lex posteriori derogate legi priori atau aturan yang baru mengesampingkan aturan yang terdahulu, pemahaman perancang undang-undang terkait kemungkinan tidak adanya pasal duplikasi kususnya untuk delik pada Buku II RKUHP terdengar meyakinkan.

Namun begitu, nyatanya tidak semua aturan hanya “dipindahkan” ke dalam RKUHP, beberapa aturan kemungkinan berubah, misalnya aturan dalam pasal 716 RKUHP yang bukan hanya menggantikan pasal 127 RKUHP, namun juga melakukan sejumlah perubahan. "Hal ini berarti delik yang dipindahkan ke RKUHP tidak secara langsung dicabut dari undang-undang sektoral," ujarnya.

Dalam tataran tehknis, untuk memastikan adanya kepastian hukum, tidak ada multi tafsir dan keragu raguan, menurut ICJR perlu adanya aturan penutup yang mencabut ketentuan-ketentuan yang sifatnya duplikasi. "RKUHP melakukan hal ini dalam Pasal 731 RKUHP yang secara tegas mencabut beberapa undang-undang agar tidak terjadi pengaturan ganda," tegasnya.

Minimal dari tiga catatan di atas, ICJR menilai ada masalah serius terkait kodifikasi dan aturan peralihan dalam RKUHP. Problem penyimpangan asas pada Buku I oleh undang-undang sektoral yang bisa jadi terlewatkan oleh tim perumus RKUHP bukanlah masalah sepele, dampaknya banyak tindak pidana di undang-undang sektoral yang tidak lagi sama penanganannya dan bahkan cenderung mundur seperti khususnya ketentuan untuk tindak pidana pelanggaran berat HAM.

ICJR menilai bahwa seluruh masalah ini diakibatkan karena tim perancang RKUHP dari pemerintah sangat ngotot untuk membuat KUHP yang seakan-akan baru dengan sentiment anti kolonial.

"Apabila tadinya amandemen KUHP dilakukan bertahap sebagaimana usul ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, maka kemungkinan permasalahan kodifikasi khususnya bagi tindak pidana di luar KUHP bisa diminimalisasi," terang dia.

Untuk itu, ICJR merekomendasikan beberapa hal terkait masalah ini pada tim Pemerintah dan DPR. Pertama, dalam hal pemerintah tetap ingin melakukan kodifikasi, maka harus dipastikan bahwa ketentuan ketentuan penyimpangan buku I yang telah diatur dalam undang-undang di luar KUHP berlaku untuk spesifik masing-masing tindak pidana yang dimasukkan ke dalam RKUHP atau Buku I RKUHP merinci kekhususan asas bagi tindak pidana-tindak pidana tertentu dalam BUKU II RKUHP.

Sedangkan untuk menghindari duplikasi terutama masalah ketidakpastian hukum dan keraguan, maka ICJR merekomendasikan RKUHP secara tegas menyebutkan dan mencabut pasal mana dalam undang-undang sektoral atau di luar KUHP yang merupakan pasal yang diduplikasi ke dalam RKUHP.

"Kodifikasi merupakan mekanisme untuk membuat adanya simplifikasi pengaturan dan membuat suatu aturan menjadi sistematis. Dalam hal pemerintah gagal untuk memastikan adanya simplifikasi dan aturan yang bisa dibaca lebih sistematis, maka sebaiknay beberpaa ketentuan yang sudah diatur di luar KUHP, dicabut dari RKUHP," pungkas Anggara," (Pon)

#KUHP
Bagikan

Berita Terkait

Indonesia
Impunitas Advokat Masuk KUHAP Biar Tidak Ada Lagi Terdakwa Lolos Pengacara Masuk Penjara
profesi advokat tidak terlalu "sakti" saat mendampingi klien. Terkadang, seorang advokat justru masuk ke penjara, sedangkan kliennya bebas dari jeratan hukum.
Alwan Ridha Ramdani - Rabu, 18 Juni 2025
Impunitas Advokat Masuk KUHAP Biar Tidak Ada Lagi Terdakwa Lolos Pengacara Masuk Penjara
Indonesia
Catatan Para Pengacara Terhadap RUU KUHP, Desak Hapus Pasal Penyadapan Dan Penguatan Alat Bukti
Penyidik harus mencari alat bukti sendiri untuk menemukan pelaku atau membuktikan tindak pidana. Menurut dia, penyidik tidak dapat hanya bergantung pada bukti petunjuk.
Alwan Ridha Ramdani - Selasa, 17 Juni 2025
Catatan Para Pengacara Terhadap RUU KUHP, Desak Hapus Pasal Penyadapan Dan Penguatan Alat Bukti
Berita Foto
Masa Reses Komisi III DPR Gelar RDPU dengan Ketua LPSK dan DPN Peradi Bahas RUU KUHP
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius Prijadi Soesilo Wibowo (kedua kiri) dan Wakil Ketua Umum/ Ketua Harian Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) R. Dwiyanto Prihartono (kedua kanan), dan sejumlah pihak hadir mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dengan Komisi III DPR, di Gedung Nuantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Didik Setiawan - Selasa, 17 Juni 2025
Masa Reses Komisi III DPR Gelar RDPU dengan Ketua LPSK dan DPN Peradi Bahas RUU KUHP
Indonesia
Legislator Desak Penguatan KUHAP untuk Hentikan Kekerasan pada Tersangka
Ia bahkan menceritakan pengalaman pahit dari daerah pemilihannya di Sulawesi Utara
Angga Yudha Pratama - Jumat, 23 Mei 2025
Legislator Desak Penguatan KUHAP untuk Hentikan Kekerasan pada Tersangka
Indonesia
RUU KUHAP Prioritaskan Perlindungan Warga dan Hilangkan Warisan Kolonial
Kami berusaha juga untuk bisa menghadirkan pengawasan yang ketat juga terhadap APH
Angga Yudha Pratama - Jumat, 23 Mei 2025
RUU KUHAP Prioritaskan Perlindungan Warga dan Hilangkan Warisan Kolonial
Indonesia
RUU KUHAP Ditargetkan Berlaku Bareng KUHP 2026, Masyarakat Diharap Beri Masukan
Komisi III DPR RI tetap membuka pintu bagi masyarakat untuk menyampaikan masukan
Angga Yudha Pratama - Kamis, 22 Mei 2025
RUU KUHAP Ditargetkan Berlaku Bareng KUHP 2026, Masyarakat Diharap Beri Masukan
Indonesia
Komisi III DPR Kebut Pembahasan RUU KUHAP, bakal Ada RDPU saat Reses
Ditargetkan,1 Januari 2026, Indonesia sudah punya KUHP baru dan sudah berlaku.
Dwi Astarini - Kamis, 22 Mei 2025
Komisi III DPR Kebut Pembahasan RUU KUHAP, bakal Ada RDPU saat Reses
Indonesia
KUHP Baru Ubah Paradigma Hukum Pidana RI Bukan Lagi Balas Dendam
KUHP baru akan mengubah paradigma hukum pidana Indonesia dari sarana balas dendam menjadi keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
Wisnu Cipto - Jumat, 31 Januari 2025
KUHP Baru Ubah Paradigma Hukum Pidana RI Bukan Lagi Balas Dendam
Indonesia
Yusril Pastikan KUHP Baru Bakal Diterapkan di 2026
Awal Januari 2026, Indonesia akan menerapkan KUHP baru dan tidak lagi menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda.
Alwan Ridha Ramdani - Rabu, 11 Desember 2024
Yusril Pastikan KUHP Baru Bakal Diterapkan di 2026
Indonesia
Komisi III Serahkan RUU KUHP ke Baleg DPR
Badan Keahlian Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI diminta untuk merumuskan lebih lanjut soal rancangan dan naskah akademik KUHAP tersebut.
Alwan Ridha Ramdani - Kamis, 07 November 2024
Komisi III Serahkan RUU KUHP ke Baleg DPR
Bagikan