Kesehatan Mental

Mitos tentang OCD yang Bikin Salah Paham

Dwi AstariniDwi Astarini - Selasa, 19 Oktober 2021
Mitos tentang OCD yang Bikin Salah Paham

OCD bukan hanya meme dan bahasa gaul untuk menggambarkan orang yang perfeksionis. (perocduk.org)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

ADA beberapa gangguan psikologis yang tampaknya disalahpahami, contohnya OCD atau obsessive-compulsive disorder. Bagi banyak orang, OCD telah menjadi bahasa gaul sehari-hari, sering digunakan untuk menggambarkan dengan sederhana kecenderungan perfeksionis atau tipe kepribadian yang sangat rewel dan mengada-ada untuk hal-hal kecil.

Banyak meme media sosial yang seolah-olah mendiagnosis OCD hanya karena seseorang merasa terganggu dengan tumpukan buku atau pigura yang tidak lurus. Namun, kondisi yang sebenarnya jauh lebih serius: OCD dapat melemahkan kondisi seseorang.

Jadi, sebenarnya apa sih OCD itu? Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders mengakui kondisi ini melibatkan perjuangan dengan pikiran-pikiran yang mengganggu dan menyusahkan, itulah obsesinya, dan juga kebiasaan ritual yang berulang-ulang yang berusaha mengatasi kecemasan dari pikiran-pikiran itu.

BACA JUGA:

Suka Merasa Cemas? Kenali Lima Jenis Kecemasan Ini

Pola perilaku ritualistik itu merupakan bentuk laku kompulsi. Meskipun tidak semua orang dengan OCD memiliki keduanya, sebagian besar melakukannya, dan menurut definisi, lingkaran setan pikiran dan perilaku ini menyebabkan penderitaan yang hebat dan gangguan signifikan pada kehidupan sehari-hari. Untungnya, ada harapan, dan ada beberapa pilihan pengobatan yang efektif.

Untuk kejelasan lebih lanjut tentang perbedaan besar antara bagaimana budaya kita menggunakan kata 'OCD' dan seperti apa sebenarnya gangguan psikologis itu, berikut penjelasan yang akan membongkar mitos OCD seperti dirangkum dari Psychology Today (29/9).

Mitos 1: OCD Berarti Perfeksionis

OCD
Orang dengan OCD tidak memiliki kendali dan merasa kesempurnaan tidak dapat ditemukan. (123RF/andreypopov)


Tidak, itu adalah persepsi yang salah yang seringkali tidak memiliki dasar dalam kenyataan. Orang dengan OCD mungkin merasa di luar kendali, tersesat dalam siklus obsesi dan kompulsi, dan mungkin merasa kesempurnaan tidak dapat ditemukan. Ini bukan tentang menginginkan hal-hal yang tepat. Ini tentang perjuangan terus-menerus untuk menenangkan pikiran "gatal" yang terus mengganggu, dan dorongan yang merupakan upaya putus asa untuk menggaruk gatal-gatal itu.

Mitos 2: OCD Berarti Sangat Rapi atau Takut Kuman

OCD
Ketakutan akan kuman dalam OCD hanya merupakan salah satu subtipe. (123RF/dolgachov)


Juga tidak, meskipun beberapa individu dengan OCD mungkin memiliki obsesi khusus yang melibatkan ketakutan akan kontaminasi, dan dorongan yang berkaitan dengan mencuci tangan, banyak yang tidak mengalami hal yang demikian. Pikiran obsesif bisa tentang apa pun yang menyusahkan. Dan, ketakutan akan kuman (meskipun meningkat sejak COVID-19) hanyalah satu subtipe. Selain itu, banyak orang yang menimbun barang hingga kondisi hidup yang tidak aman, sebenarnya juga menderita gejala Obsesif-Kompulsif. Kondisi ini berhubungan dengan Hoarding Disorder.

Mitos 3: OCD Hanyalah Tipe Kepribadian

OCD
OCD adalah gangguan psikologis, bukan tipe kepribadian yang dimiliki seseorang. (123RF/eugenesergeev)


Bukan, OCD adalah gangguan psikologis asli yang dapat menyebabkan hidup sesorang menjadi sebuah tantangan besar, dan orang-orang dari berbagai kepribadian mungkin menderita karenanya. Kebingungan ini mungkin juga diakibatkan adanya gangguan kepribadian yang menyandang nama Obsessive-Compulsive Personality Disorder, tetapi orang-orang itu mungkin tidak memiliki obsesi atau kompulsi sama sekali. Membingungkan memang.

Mitos 4: Orang dengan OCD Hanya Perlu Relaks

OCD
Memberi tahu orang dengan OCD untuk relaks sama seperti memberi tahu orang yang depresi untuk berbahagia. (123RF/szefei)


Sekali lagi, tidak. Seseorang dengan OCD pasti sedang berjuang dengan kecemasan, tetapi itu berasal dari gangguan terus-menerus dari siklus pikiran obsesif, menjengkelkan, dan pola kebiasaan yang mereka rasa mungkin mengambil alih hidup mereka. Orang dengan OCD sering merasa bahwa otak mereka adalah musuh terburuk. Memberi tahu seseorang dengan OCD untuk relaks sama seperti memberi tahu orang yang depresi untuk 'berbahagia'. Keduanya tidak akan membantu kondisi mereka.

Mitos 5: OCD Itu 'Sudah dari Sananya' dan Tidak Dapat Diubah

OCD
Bahkan kasus OCD yang parah masih memiliki harapan jika ditangani dengan benar. (123RF/bialasiewicz)

Untungnya, yang satu ini sama salahnya dengan yang lain. Jika berbicara tentang OCD, bahkan kasus yang parah masih memiliki harapan jika ditangani dengan benar. Jenis Terapi Perilaku Kognitif tertentu seperti ERP (Exposure and Response Prevention) telah menunjukkan tingkat kemanjuran yang sangat menjanjikan, dan berbagai obat, termasuk antidepresan SSRI, telah menunjukkan efek positif juga. Jika kamu menderita OCD, jangan tinggal diam. Hubungi spesialis kesehatan mental yang bereputasi segera. Kamu tidak sendiri.(aru)

BACA JUGA:

Ketahui Kondisi Kesehatan Mental Melalui Golongan Darah

#Kesehatan Mental
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.

Berita Terkait

Indonesia
Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan
Posyandu Ramah Kesehatan Jiwa diperkuat untuk mewujudkan generasi yang sehat fisik dan mental.
Dwi Astarini - Senin, 06 Oktober 2025
Smart Posyandu Difokuskan untuk Kesehatan Jiwa Ibu setelah Melahirkan
Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Fun
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Pelarian Artscape hadir sebagai pelampiasan yang sehat dan penuh makna.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 04 Agustus 2025
Menyembuhkan Luka Batin lewat Kuas dan Warna: Pelarian Artscape Hadirkan Ruang Aman untuk Gen Z Hadapi Stres
Indonesia
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Kelelahan mental merupakan sindrom yang dihasilkan dari stres terkait dengan pekerjaan kronis.
Dwi Astarini - Rabu, 30 Juli 2025
Mengenal Burnout yang Diduga Pemicu Diplomat Arya Daru Pangayunan Mengakhiri Hidupnya, ini Cara Mengatasinya
Lifestyle
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Gangguan perasaan bisa berupa emosi yang tumpul atau suasana hati yang kacau
Angga Yudha Pratama - Sabtu, 26 Juli 2025
Bukan Sekadar Mood Swing Biasa! Ini Beda Bipolar dan Depresi yang Wajib Diketahui
Indonesia
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Hasil ini menjadi sinyal penting perlunya konsultasi lebih lanjut dengan tenaga profesional.
Ananda Dimas Prasetya - Senin, 21 Juli 2025
Dinkes DKI Jakarta Ungkap 15 Persen ASN Terindikasi Memiliki Masalah Kesehatan Mental
Indonesia
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Depresi yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan depresi yang resistan terhadap pengobatan atau treatment resistant depression atau (TRD).
Alwan Ridha Ramdani - Jumat, 11 Juli 2025
Ingat! Depresi Bukan Aib, Jangan Resistan Terhadap Pengobatan
Lifestyle
Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja
Untuk skizofrenia, faktor risikonya mencakup genetik
Angga Yudha Pratama - Kamis, 15 Mei 2025
Mengenali Gangguan Mental Sejak Dini: Ini Perbedaan Bipolar dan Skizofrenia pada Anak dan Remaja
Fun
Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja
Skizofrenia dapat menurunkan kualitas hidup secara signifikan.
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 15 Mei 2025
Apa Saja Gejala Awal Penyebab Skizofrenia Pada Anak-Anak dan Remaja
Fun
Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja
Penderita GB I, mengalami setidaknya satu episode manik yang berlangsung selama seminggu atau lebih.
Ananda Dimas Prasetya - Rabu, 14 Mei 2025
Ahli Ungkap Gejala Awal dari Gangguan Bipolar I pada Anak-Anak dan Remaja
Bagikan