Legislator Ingatkan 10 Dampak Serius Ekspor Pasir Laut, Ekologis hingga Konflik Sosial


Kapal tunda menarik tongkang berisi pasir laut yang akan dibawa ke Singapura, di perairan Kepulauan Riau. ANTARA FOTO/Joko Sulistyo/ama/pri.
MerahPutih.com - Langkah pemerintah yang membuka kembali keran kebijakan ekspor pasir laut setelah selama 20 tahun dilarang, mendapat sorotan dari anggota DPR RI Riyono.
Tokoh peraih penghargaan Jateng Pos Award sebagai tokoh peduli nelayan 2017 ini menilai setidaknya terdapat sepuluh dampak serius ekspor pasir laut ini.
“Pertama, meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai. Kedua, menurunkan kualitas lingkungan perairan laut dan pesisir pantai. Ketiga, meningkatnya pencemaran pantai. Empat, penurunan kualitas air laut yang menyebabkan semakin keruhnya air laut,” kata Riyono dalam keterangannya di Jakarta, Senin (14/10).
Kelima, lanjut dia, rusaknya wilayah pemijahan ikan dan daerah asuhan. Keenam, ekspor pasir laut dapat meningkatkan turbulensi yang menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut.
“Ketujuh, meningkatkan intensitas banjir air rob, terutama di pesisir daerah yang terdapat penambangan pasir laut. Kedelapan, merusak ekosistem terumbu karang dan fauna yang mendiami ekosistem tersebut,” ujarnya.
Baca juga:
"Jika PP ini dijalankan maka menjadi ancaman nyata hilangnya pulau-pulau kecil dan terluar di NKRI. Lalu jika banyak kerusakan kenapa PP ini terbit? Presiden harusnya membatalkan PP ini," sambung dia.
Kesembilan, ekspor pasir laut meningkatkan semakin tingginya energi gelombang atau ombak yang menerjang pesisir pantai atau laut.
"Hal ini dikarenakan dasar perairan yang sebelumnya terdapat kandungan pasir laut menjadi sangat curam dan dalam sehingga hempasan energi ombak yang menuju ke bibir pantai akan menjadi lebih tinggi karena berkurangnya peredaman oleh dasar perairan pantai,” jelasnya.
Kesepuluh, timbulnya konflik sosial antara masyarakat yang pro-lingkungan dan para penambang pasir laut.
“Sepuluh alasan di atas memberikan pemahaman kenapa ekspor pasir laut itu dilarang selama 20 tahun. Lalu kenapa tiba–tiba sekarang diperbolehkan?” tanya legislator dari Dapil VII Jatim ini.
Baca juga:
Indonesia Bakal Dapat Rp 2,5 Triliun Tiap Ekspor 50 Juta Meter Kubik Pasir Laut
“Jika sekarang diperkuat melalui PP maka potensi konflik akan semakin luas dan merugikan nelayan kecil,” ujarnya.
Riyono mengingatkan konflik akibat penambangan pasir laut sudah banyak terjadi. Misalnya kasus yang terjadi pada 7 Maret 2020 di Lampung Timur. Pembakaran kapal oleh rakyat mengakibatkan konflik antar pengusaha dan masyarakat lokal.
Selain itu, menurut dia, lahirnya PP ini diduga karena banyak kepentingan yang berpihak kepada pengusaha besar. Ia menilai dasar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak sebanding dengan kerusakan yang akan ditimbulkan akibat penambangan pasir laut ini.
“Jika PP ini dijalankan maka menjadi ancaman nyata akan hilangnya pulau–pulau kecil dan terluar di NKRI. Lalu jika banyak kerusakan kenapa PP ini terbit? Presiden harusnya membatalkan PP ini,” pungkasnya. (Pon)
Bagikan
Ponco Sulaksono
Berita Terkait
Gaji DPR RI 2025 Usai Pemangkasan: Berapa Take Home Pay-nya Sekarang?

Aktivis Sebut Penonaktifan 5 Anggota DPR RI Bodohi Rakyat, Gaji Tetap Diterima

DPR Soroti Ketergantungan Impor Minyak dan Pangan, Pemerintah Diminta Segera Panggil Produsen untuk Pastikan Komitmen Ketersediaan dan Harga yang Terjangkau

Legislator Tekankan Tiga Prioritas Utama dalam Pendidikan Nasional: Kesejahteraan Guru, Akses Merata, dan Sarana Prasarana Memadai

Puan Maharani Kumpulkan Pimpinan Fraksi Partai, Bahas Transformasi DPR

DPR Dorong Pemerintah Libatkan Peternak Kecil dalam Program Sapi Merah Putih

RUU Perampasan Aset Masih Usulan Pemerintah, DPR Pertimbangkan untuk Ambil Alih

DPR Buka Peluang Ambil Alih Inisiatif RUU Perampasan Aset dari Pemerintah

Stok Melimpah Namun Harga Melambung Jadi Pertanda Masalah Serius, Pemerintah Diminta Waspadai Spekulasi dan Kartel Beras

RUU PPRT akan Perkuat Peran P3RT sebagai Penjamin Keamanan dan Keterampilan Pekerja Rumat Tangga
