Fat Shaming Bisa Datang dari Siapa Saja, Termasuk Dokter


Stigma berat badan dapat menghalangi usaha untuk mencari perawatan kesehatan. (Foto: 123RF/Dmytro)
KELEBIHAN berat badan membuat orang menghindari layanan kesehatan. Demikian sebuah penelitian yang melakukan survei di Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.
Lebih dari setengah orang dewasa dalam survei tersebut mengatakan, mereka pernah mengalami penghinaan dari dokter, keluarga, teman, teman sekelas, dan rekan kerja akibat kelebihan berat badan. Tindakan fat shaming menyebabkan orang yang kelebihan berat badan menyalahkan diri sendiri dan menghindari perawatan kesehatan.
Stigma berat badan tersebut begitu umum, sangat merugikan harga diri seseorang dan menghalangi usaha untuk mencari perawatan kesehatan. Hal ini telah menjadi masalah ketidakadilan sosial dan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan, seperti dikatakan wakil direktur di Rudd Center for Food Policy and Obesity di University of Connecticut, Rebecca Puhl.
Baca juga:
Segala Hal yang Pernah Kamu Tahu Tentang Berat Badan Mungkin Keliru
"Stigma adalah musuh bagi kesehatan," jelas Puhl. "Sama seperti kesehatan mental, stigma berat badan adalah masalah kesehatan masyarakat yang nayata, dan kita perlu melegitimasinya dengan cara yang belum pernah dilakukan," tambahnya.
Prevalensi stigma berat badan sangat signifikan karena penyebab obesitas kompleks dan seringkali di luar kendali pribadi. Itu telah mempelajari stigma berat badan selama hampir dua dekade. Peran masyarakat yang memfasilitasi obesitas dengan mempopulerkan budaya makanan cepat saji dan makanan olahan tinggi serta kurangnya aktivitas fisik, kerap diabaikan.
"Kita mengabaikan semua bagian lain dari teka-teki seperti genetika, lingkungan, biologi, pertanian, harga makanan, gurun makanan, dan aksesibilitas," lanjut Puhl. "Sebaliknya, kepercayaan masyarakat yang terlalu disederhanakan dan tidak akurat ini bertahan bahwa jika berusaha cukup keras, kamu dapat memiliki tubuh apa pun yang diinginkan. Itulah keyakinan yang benar-benar memicu stigma berat badan masyarakat," jelasnya.
"Pada dasarnya, masalah ini adalah tentang rasa hormat dan martabat dan perlakuan yang sama terhadap orang-orang dengan ukuran dan berat tubuh yang berbeda," Puhl seperti dikutip dari CNN (4/6).

Hampir 14.000 anggota WW (Weight Watchers) di enam negara disurvei antara Mei dan Juli 2020, soal pengalaman mereka dengan stigma berat badan dan pengaruhnya terhadap harga diri dan kesediaan mereka untuk mencari bantuan perawatan kesehatan.
Hasilnya, inilah kelompok yang kerap memberikan stigma yang menyakitkan dan makin memperburuk kondisi kesehatan orang dengan masalah berat badan.
Keluarga dan Orang-orang Terdekat
Anggota keluarga paling mungkin melakukan fat shaming. Demikian menurut sebuah penelitian yang diterbitkan Selasa (1/6) di International Journal of Obesity.
Antara 76 persen dan 88 persen orang yang disurvei pernah mengalami penghinaan berat badan dari orangtua, saudara kandung atau anggota keluarga lain, sebagian besar selama masa kanak-kanak dan remaja.
Stigma itu adalah hasil yang tidak disengaja dari orang-orang terdekat, mereka yang mencoba membantu mengatasi masalah berat badan dan meningkatkan kesehatan. Namun, tidak demikian yang ditemukan dalam penelitian itu.
"Ketika kami mengajukan pertanyaan terbuka tentang pengalaman orang-orang tentang stigma berat badan dari anggota keluarga, seringkali itu adalah kritik yang sangat keras, ejekan, olok-olok," kata Puhl.
"Seperti menyebut mereka gemuk hingga membuat pernyataan bahwa mereka tidak akan pernah menemukan pacar karena berat badan, komentar yang benar-benar meremehkan yang memiliki dampak jangka panjang," tambahnya.
Dia mengingatkan, kita perlu membantu keluarga terlibat dalam komunikasi yang lebih mendukung. Termasuk mengurangi stigmatisasi kepada anggota yang mengalami masalah berat badan.

Teman di Sekolah dan Kantor
Teman sekelas berada di urutan kedua di tingkatan pelaku fat shaming dengan 72 persen hingga 81 persen. Peserta survei mengatakan, mereka diejek atau diintimidasi di sekolah. Antara 54 persen dan 62 persen dari mereka yang menanggapi survei mengatakan rekan kerja telah mempermalukan mereka di tempat kerja.
Akhirnya, bahkan pada mereka yang kritis tentang berat badan pun, antara 49 persen dan 66 persen pernah mengalami komentar negatif dari teman-teman. "Orang-orang mengalami stigma berat badan dalam berbagai hubungan interpersonal yang erat dan di berbagai latar, baik itu perawatan kesehatan, pekerjaan, atau di rumah," ujar Puhl.
Baca juga:
Jangan Sampai Didiamkan, Ini Cara Menghentikan Tindakan 'Bullying'
Dokter dan Tenaga Kesehatan
Pada penyelidikan multinasional pertama tentang hubungan antara stigma berat badan dan pengalaman perawatan kesehatan, Puhl dan rekan-rekannya menggunakan dataset WW yang sama dalam studi kedua untuk melihat apakah peserta survei merasa dokter menilai mereka berdasarkan berat badan. Studi ini diterbitkan Selasa (1/6) di jurnal PLOS ONE.
Puhl mengatakan, studi sebelumnya telah mengidentifikasi stigma berat badan, atau bias, di antara para profesional medis, tetapi penelitian ini fokus di AS. Dalam studi berikutnya, ditemuka antara 63 persen dan 74 persen orang yang disurvei di Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Inggris, dan AS merasa diremehkan karena berat badan mereka saat mengunjungi dokter untuk perawatan kesehatan.
Pada enam negara tersebut, orang-orang yang menginternalisasi stigma itu, atau menyalahkan diri mereka sendiri atas berat badan mereka, lebih mungkin untuk menghindari perawatan kesehatan. Demikian temuan studi yang dilakukan Puhl dan rekan-rekannya.
"Mereka akan lebih jarang melakukan pemeriksaan ke dokter. Mereka lebih cenderung melihat bahwa dokter menilai secara negatif tentang berat badan mereka, serta bahwa dokter kurang menghormati dan tidak mendengarkan kebutuhan mereka," kata Puhl.
Studi tersebut juga menemukan, keyakinan itu bertahan bahkan jika orang tersebut tidak kelebihan berat badan secara signifikan. "Perlu dicatat bahwa berat badan tidak terkait dengan pengalaman perawatan kesehatan itu, jadi itu hanya internalisasi stigma," tambahnya.
Sementara, penelitian sebelumnya menunjukkan, ketika orang mengalami stigma berat badan dan menginternalisasikannya, hal itu sendiri dapat memprediksi kenaikan berat badan.
"Persepsi umum adalah bahwa sedikit rasa malu atau stigma mungkin memotivasi orang untuk menurunkan berat badan, tapi bukan itu yang kita lihat dalam penelitian," jelas Puhl. Ia melanjutkan, "faktanya, ketika orang mengalami stigma berat badan, ini sebenarnya berkontribusi pada perilaku makan yang tidak sehat, aktivitas fisik yang lebih rendah dan penambahan berat badan."
Pola itu juga terlihat dalam kedua penelitian di semua negara: Semakin banyak orang menyalahkan diri sendiri atas berat badan mereka, semakin besar kenaikan berat badan dalam satu tahun terakhir. Selain itu, semakin banyak dari mereka beralih ke makanan sebagai cara untuk mengatasi stres.
"Temuan ini benar-benar memberi kami alasan kuat untuk menargetkan tidak hanya stigma berat dari dokter atau profesional perawatan kesehatan, tetapi juga menemukan cara untuk membantu orang mengurangi stigma menyalahkan diri sendiri," Puhl menekankan.
Perubahan sikap harus dimulai di rumah, kata Puhl, dengan percakapan penuh kasih tentang perilaku sehat tanpa "membuat anak merasa benar-benar malu atau dihakimi karena seperti apa tubuh mereka."
"Studi kami menunjukkan bahwa ketika orangtua mengalihkan percakapan ke perilaku sehat, itu cenderung jauh lebih efektif," katanya. Fokusnya bukan pada angka pada timbangan berat badan, tetapi pada seluruh keluarga yang makan buah dan sayuran, mengganti soda dengan air, melakukan aktivitas fisik setiap hari.
Menurut Puhl, para remaja kebanyakan lebih suka mendengar kata-kata yang lebih netral, seperti BMI atau berat badan, daripada gemuk, besar, atau berat. Tetapi itu dapat berubah berdasarkan preferensi individu dan jenis kelamin.
"Salah satu hal yang juga kami temukan, terutama untuk anak perempuan, adalah bahwa bahkan ketika orangtua menyebut berat badan dengan cara yang lebih netral, itu masih bisa membuat mereka merasa tertekan secara emosional, jadi mungkin lebih baik untuk tidak mengungkit masalah itu sama sekali," tutupnya. (aru)
Baca juga:
Langkah-langkah Tepat dalam Menghadapi Perlakuan Body Shaming
Bagikan
Ananda Dimas Prasetya
Berita Terkait
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong

Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut

Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat

Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular

Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Belum Dapat 'Lampu Hijau' DPR, Legislator Soroti Pentingnya Keadilan Sosial dan Akurasi Data Penerima Bantuan Iuran

Prabowo Janji Bikin 500 Rumah Sakit, 66 Terbangun di Pulau Tertinggal, Terdepan dan Terluar

Prabowo Resmikan Layanan Terpadu dan Institut Neurosains Nasional di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional

Viral Anak Meninggal Dunia dengan Cacing di Otak, Kenali Tanda-Tanda Awal Kecacingan yang Sering Dikira Batuk Biasa

Periksakan ke Dokter jika Vertigo Sering Kambuh Disertai Gejala Lain, Bisa Jadi Penanda Stroke

Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, Alasanya Tambah Jumlah Peserta Penerima Bantuan Iuran
