Bahaya Optimisme yang Tidak Realistis dalam Hadapi COVID-19

Muchammad YaniMuchammad Yani - Kamis, 02 September 2021
Bahaya Optimisme yang Tidak Realistis dalam Hadapi COVID-19

Optimisme yang tidak realistis membuat kamu rentan karena merasa terlindungi, padahal tidak. (Foto: 123RF/niceideas)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

PEMERINTAH daerah, Kementerian Kesehatan, hingga World Health Organization (WHO) telah membuat rekomendasi tentang langkah-langkah yang dapat diambil untuk membantu melindungi diri sendiri, orang tercinta, dan anggota komunitas dari COVID-19. Misalnya seperti vaksinasi, memakai masker, menjaga jarak aman, dan menjauhi tempat ramai.

Hal yang penting, di tengah rekomendasi ini, para peneliti telah melihat langkah mana yang berpengaruh; apakah orang mengikutinya atau tidak; termasuk mengenai kecenderungan manusia untuk memiliki optimisme yang tidak realistis.

Optimisme yang tidak realistis merupakan kecenderungan untuk mengantisipasi keadaan dengan berpikir peluang untuk menghadapi keadaan buruk lebih rendah dari peluang untuk menikmati perkembangan dan perbaikan.

Baca juga:

Pasien COVID-19 Varian Delta Bisa Menyebarkan Virus 2 Hari sebelum Merasakan Gejala

Diberitakan Psychologytoday.com (30/8), data ilmiah yang muncul menunjukkan bahwa pola pikir optimisme yang tidak realistis ini memiliki hubungan dengan meremehkan kemungkinan terkena COVID-19, merasa tidak takut tertular, dan cenderung kurang mau mencari informasi lebih banyak tentang kemungkinan tertular dan bagaimana melindungi diri sendiri.

Namun, bagaimana jika elemen-elemen ini dibalik? Dengan kata lain, jika orang benar-benar mengikuti anjuran kesehatan, apakah optimisme mereka yang tidak realistis akan meningkat?

Vaksin bisa memberikan optimisme yang tidak realistis jika kamu merasa terlindungi tanpa masker. (Foto: 123RF/papastudio)
Vaksin bisa memberikan optimisme yang tidak realistis jika kamu merasa terlindungi tanpa masker. (Foto: 123RF/papastudio)

Dalam sebuah penelitian berjudul "Can self-protective behaviors increase unrealistic optimism? Evidence from the COVID-19 pandemic" yang dimuat secara daring di Journal of Experimental Psychology: Applied, tim peneliti mengeksplorasi pertanyaan ini.

Lebih khusus lagi, mereka memeriksa apakah orang akan memiliki optimisme yang lebih tidak realistis tentang peluang mereka terkena COVID-19 (yaitu, berpikir peluang mereka tertular virus lebih rendah daripada orang lain), dan apakah memikirkan rutinitas pribadi mereka memakai masker akan mengintensifkan bias ini.

Hasil penelitian menunjukkan, orang memang memiliki optimisme yang tidak realistis tentang peluang mereka terkena COVID-19. Selain itu, eksperimen tersebut juga mengungkapkan bahwa ketika orang memikirkan penggunaan masker mereka, ini menyebabkan mereka memiliki optimisme yang lebih tidak realistis dibandingkan dengan orang yang hanya mengukur kemungkinan tertular virus tanpa memikirkan penggunaan masker mereka sendiri.

Baca juga:

Perempuan Dilarang Masuk Tempat ini, Apa Alasannya?

Kompensasi Risiko

Mengapa pertanyaan ini penting? Tentu, orang mungkin kurang rentan untuk mengambil tindakan pencegahan keselamatan jika mereka lebih optimis secara tidak realistis, dan itu penting untuk disadari. Namun, bagi orang-orang yang benar-benar mengikuti pedoman kesehatan, siapa yang peduli jika hal itu membuat mereka lebih bias tentang keselamatan mereka sendiri?

Faktanya, seperti yang ditunjukkan pera peneliti, tergantung pada praktik orang (yaitu, berada di rumah), orang-orang seperti itu mungkin benar dalam berpikir bahwa mereka cenderung tidak sakit. Jadi mengapa kita bahkan membicarakan ini?

Para peneliti menyoroti poin penting: Jika orang menjadi lebih optimis secara tidak realistis, mereka dapat membuat pilihan yang tidak aman bahkan setelah mengambil langkah-langkah untuk melindungi kesejahteraan mereka. Ini adalah konsep yang dikenal sebagai kompensasi risiko.

Orang yang memikirkan penggunaan masker, merasa dirinya lebih terlindungi. (Foto: 123RF/petripa)
Orang yang memikirkan penggunaan masker, merasa dirinya lebih terlindungi. (Foto: 123RF/petripa)

Misalnya, penelitian sebelumnya menemukan bahwa setelah orang menerima vaksin, mereka melonggarkan beberapa praktik keamanan lain yang akan melindungi mereka dari penularan penyakit dan bukan terus mempertahankan semuanya.

Jadi apa yang bisa kita ambil dari penelitian ini? Apakah ini berarti kontraproduktif untuk mengikuti rekomendasi keselamatan COVID-19? Sama sekali tidak. Seperti yang ditunjukkan dengan tepat oleh para peneliti, penting untuk mengambil langkah-langkah untuk membantu melindungi dari COVID-19, dan langkah-langkah itu berhasil.

Mereka juga menekankan bahwa apa yang perlu kita perhatikan, dan apa yang harus disoroti oleh pesan kesehatan masyarakat, yaitu langkah-langkah yang diambil untuk menjaga diri tetap aman dapat membuat kamu rentan untuk berpikir bahwa kamu lebih terlindungi dari COVID-19, padahal tidak.

Pada gilirannya, kamu mungkin akhirnya lengah dan melonggarkan praktik pencegahan tertentu lainnya yang juga diperlukan untuk menjaga diri sendiri, orang-orang terkasih, dan orang lain tetap aman. (aru)

Baca juga:

Google Hentikan Cookie, Berbahaya bagi Pengguna Internet

#Kesehatan
Bagikan
Ditulis Oleh

Muchammad Yani

Lebih baik keliling Indonesia daripada keliling hati kamu

Berita Terkait

Indonesia
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga
Langkah ini merupakan bagian dari agenda besar pemerintah dalam memperkuat jaring pengaman sosial, terutama bagi masyarakat rentan.
Alwan Ridha Ramdani - Kamis, 02 Oktober 2025
Pemerintah Bakal Hapus Tunggakan BPJS Kesehatan Warga
Lifestyle
Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak
Pertambahan mata minus ini akan mengganggu aktivitas belajar maupun perkembangan anak
Angga Yudha Pratama - Rabu, 01 Oktober 2025
Waspadai Tanda-Tanda Mata Minus pada Anak
Fun
Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas
Satu dari tiga orang dewasa di Indonesia memiliki kadar kolesterol tinggi.
Ananda Dimas Prasetya - Selasa, 30 September 2025
Strategi Sehat Kontrol Kolesterol, Kunci Sederhana Hidup Berkualitas
Indonesia
Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan
Peredaran rokok ilegal dinilai sangat mengganggu. Sebab, peredarannya bisa merugikan negara hingga merusak kesehatan masyarakat.
Soffi Amira - Kamis, 25 September 2025
Peredaran Rokok Ilegal Dinilai Mengganggu, Rugikan Negara hingga Merusak Kesehatan
Indonesia
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak
Pemerintah DKI melalui dinas kesehatan akan melakukan penanganan kasus campak agar tidak terus menyebar.
Dwi Astarini - Jumat, 12 September 2025
Pramono Tegaskan tak Ada Peningkatan Penyakit Campak
Indonesia
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian
Langkah cepat yang diambil jajaran Dinkes DKI untuk mencegah penyakit campak salah satunya ialah melalui respons penanggulangan bernama ORI (Outbreak Response Immunization).
Dwi Astarini - Selasa, 09 September 2025
Dinkes DKI Catat 218 Kasus Campak hingga September, tak Ada Laporan Kematian
Indonesia
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
Lonjakan kasus malaria yang kembali terjadi setelah daerah tersebut sempat dinyatakan eliminasi pada 2024 itu harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
DPR Desak Pemerintah Perkuat Respons KLB Malaria di Parigi Moutong
Lifestyle
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Stres dapat bermanifestasi pada gangguan di permukaan kulit.
Dwi Astarini - Kamis, 04 September 2025
Kecemasan dan Stres Perburuk Kondisi Kulit dan Rambut
Dunia
Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat
Menkes AS juga menghapus program pencegahan penyakit yang krusial.
Dwi Astarini - Rabu, 03 September 2025
Menkes AS Pecat Ribuan Tenaga Kesehatan, Eks Pejabat CDC Sebut Pemerintah Bahayakan Kesehatan Masyarakat
Lifestyle
Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
Mereka yang membatasi makan kurang dari delapan jam sehari memiliki risiko 135 persen lebih tinggi meninggal akibat penyakit kardiovaskular.
Dwi Astarini - Selasa, 02 September 2025
Intermittent Fasting, antara Janji dan Jebakan, Bisa Bermanfaat Juga Tingkatkan Risiko Kardiovaskular
Bagikan