Adat Bundo Kanduang dalam Sistem Matrilineal Budaya Minangkabau


Setiap anak perempuan mendapat warisan dari ibunya dengan memperoleh bagian yang sama besar. (Wikimedia Commons)
SISTEM matrilineal merupakan sebuah sistem yang dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau sampai sekarang ini. Perempuanlah yang memiliki rumah dan sawah, rumahtangga juga dikelompokkan menjadi klan yang didasarkan pada garis keturunan perempuan.
Setiap anak perempuan mendapat warisan dari ibunya dengan memperoleh bagian yang sama besarnya dari sawah milik ibunya. Tanah tidak dapat dijual kecuali dengan syarat yang ketat dan dalam situasi khusus dan hanya dengan persetujuan dari kepala suku.
Mengacu kepada Datuak Sanggoeno Diradjo (2004:332-338), masyarakat Minangkabau memiliki beberapa pengertian mengenai Bundo Kanduang, di antaranya:
Baca Juga:

• Bundo Kanduang adalah seorang raja atau ratu dari kerajaan Minangkabau pada salah satu periode pemerintahan di masa lampau
• Bundo Kanduang adalah sebutan kepada kelompok perempuan yang berpakaian adat Minangkabau sebagai pendamping kelompok ninik mamak dalam acara-acara seremonial yang diadakan oleh pemerintah
• Bundo Kanduang adalah salah satu unit lembaga kerapatan adat di Minangkabau yang mungkin terdapat pada semua tingkat lembaga kerapatan adat itu, mulai dari tingkat nagari sampai tingkat alam Minangkabau.
• Bundo Kanduang adalah seorang (perempuan) pemimpin non-formal untuk seluruh perempuan beserta anak cucu yang ada dalam kaumnya.
Baca Juga:
Makna Bunga Melati yang Sering Muncul dalam Acara Kenegaraan Indonesia

Ketegasan adat Minang dengan konsepsi matrilineal terlihat jelas melalui kedudukan dan hak perempuan yang jelas terhadap harta, yang terbagi menjadi pusako, harta pusako ,dan pusako rendah.
Pusako adalah milik kaum secara turun-temurun menurut sistem matrilineal. Pusako berbentuk material, seperti sawah, ladang Rumah Gadang, dan lain-lainnya. Pusako tinggi adalah harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis ibu.
Pusaka tinggi lainnya boleh digadaikan bila dalam keadaan sangat mendesak, yaitu untuk empat hal saja menurut laman bukittinggi.com. Pertama, Gadih gadang indak balaki (menggadaikan harta untuk biaya perkawinan anak perempuan); kedua, Mayik tabujua tanggah rumah (biaya menguburkan jenazah); ketiga, Rumah Gadang katirisan (biaya renovasi rumah yang sudah lapuk atau rusak); keempat, Mambangkik Batang Tarandam (biaya sekolah atau pengangkatan penghulu).
Sementara pusako rendah adalah harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga dengan harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako rendah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh atau hukum Islam. (aru)
Baca Juga:
Bagikan
Berita Terkait
Pramono Sebut Jakarta Harus Punya Lembaga Adat Betawi, Jadi Identitas Kuat sebagai Kota Global

Tradisi Yaa Qowiyyu Klaten, Ribuan Warga Berebut Gunungan Apem

Keberagaman budaya Indonesia Masih Jadi Magnet Bagi Wisatawan Mancanegara

Genre Imajinasi Nusantara, Lukisan Denny JA yang Terlahir dari Budaya Lokal hingga AI

Menbud Pastikan Pacu Jalur yang Kini Viral Sudah Lama Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda Nasional

Pemprov DKI Segera Rampungkan Perda yang Melarang Ondel-ondel Ngamen di Jalan, Rano Karno: Mudah-mudahan Sebelum HUT Jakarta

Wajah Baru Indonesia Kaya Konsiten Usung Budaya Indonesia dengan Konsep Kekinian

Komisi X DPR Soroti Transparansi dan Partisipasi Publik dengan Menteri Kebudayaan

Fadli Zon: Kongres Perempuan 1928 Justru Diperkuat dalam Sejarah Indonesia

5 Museum Jakarta Buka Sampai Malam, Pengunjung Melonjak Hingga Ribuan
