10 Alasan Jokowi Harus Bersikap Terkait Polemik TWK KPK

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Kamis, 23 September 2021
10 Alasan Jokowi Harus Bersikap Terkait Polemik TWK KPK

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. ANTARA/Prisca Triferna

Ukuran:
14
Audio:

MerahPutih.com - Indonesia Corruption Wacth (ICW) membeberkan sepuluh alasan mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bersikap terkait polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pertama, kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jokowi harus konsisten denngan pernyataannya pada pertengahan Mei lalu bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai.

"Bahkan saat itu Presiden turut mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar hukum," kata Kurnia dalam keterangannya, Kamis (23/9).

Baca Juga

Penyidik KPK Nonaktif Sebut Harun Masiku Agustus Masih Berada di Indonesia

Kedua, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam birokrasi. Dalam Pasal 3 PP 17/2020 secara tegas menyebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang mengangkat PNS.

"Maka dari itu, dengan melandaskan temuan ORI dan Komnas HAM, Presiden dapat mengambil alih kewenangan SekJen KPK untuk melakukan pengangkatan terhadap 56 pegawai karena terbukti maladministrasi dan melanggar HAM," ujarnya.

Kemudian, Presiden selaku pihak eksekutif merupakan atasan KPK berdasarkan perubahan UU 30/2002. Dalam Pasal 3 UU 19/2019 telah meletakkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, menurut Kurnia, segala persoalan yang berkaitan dengan ranah administrasi mewajibkan Presiden untuk bertindak.

"Dalam hal ini, polemik TWK berada dalam ranah administrasi kepegawaian. Jadi, tidak salah jika kemudian masyarakat mendesak agar Presiden segera mengeluarkan sikap untuk menyelesaikan permasalahan di tubuh KPK," bebernya.

Alasan keempat, kondisi pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan. Akhir Januari lalu Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Faktanya, peringkat maupun skor Indonesia anjlok. Untuk peringkat, turun dari 85 menjadi 102. Sedangkan skor, merosot tajam tiga poin menjadi 37.

"Maka dari itu, dengan kondisi KPK hari ini, jika tidak ada tindakan konkret dari Presiden, bukan tidak mungkin IPK Indonesia akan semakin suram pada tahun mendatang," kata Kurnia.

Selanjutnya, rekomendasi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait uji materi Peraturan KPK atau PerKom 1/2021. Putusan MA nomor 26 P/HUM/2021, tepatnya poin dua pertimbangan hakim secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah.

"Maka dari itu, tindakan Pimpinan KPK yang memutuskan pemberhentian pegawai pada akhir September nanti tidak berdasar. Sebab, keputusan itu semestinya berada pada ranah pemerintah. Jadi, dalam hal ini, Presiden menjadi pihak yang paling tepat untuk menyikapi polemik TWK KPK," tuturnya.

Tangkapan Layar Presiden Jokowi menyampaikan sambutan secara virtual dalam sebuah seminar daring, dipantau di Jakarta, Rabu (15/9). ANTARA/Indra Arief.

Alasan keenam, kewajiban untuk menunaikan janji politik 2014 dan 2019. Saat kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi berulang kali mengucapkan janji untuk memperkuat KPK. Namun, hingga saat ini realisasi akan janji tersebut belum pernah terjadi.

"Maka dari itu, masyarakat menunut kembali dalam isu TWK KPK agar Joko Widodo menunaikan janji politiknya," imbuhnya.

Alasan ketujuh, Presiden wajib menjalankan rekomendasi Ombdusman RI dan Komnas HAM.
Pada tanggal 16 Agustus 2021, Komnas HAM telah memaparkan hasil pemantauannya terhadap proses asesmen TWK KPK. Dalam temuannya, Komnas HAM mengonfirmasi adanya pelanggaran HAM saat KPK menyelenggarakan proses alih status kepegawaian.

"Dua di antaranya, pertanyaan bernuansa merendahkan martabat dan praktik stigmatisasi yang dialami oleh pegawai KPK. Begitu pula Ombudsman RI, pada pekan lalu lembaga tersebut juga sudah menyerahkan rekomendasi kepada Presiden terkait dengan TWK KPK," kata Kurnia.

Jika Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM, maka lanjut Kurnia, Ombudsman menegaskan poin maladministrasi dalam proses penyelenggaraan TWK di KPK. Atas dasar itu, rekomendasi dua lembaga tersebut bermuara pada tindakan Presiden.

"Sehingga, sudah selayaknya Presiden mengikuti rekomendasi Komnas HAM maupun ORI untuk mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN," ujarnya.

Alasan selanjutnya, tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019. Diketahui, putusan MK terkait revisi UU KPK sudah menegaskan bahwa proses pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh merugikan hak-hak pegawai. Menurut Kurnia, dengan diberhentikannya 56 pegawai, semakin jelas bahwa langkah Pimpinan KPK telah melenceng dan mengabaikan putusan MK.

"Untuk itu, Presiden harus mengoreksi kebijakan Pimpinan KPK tersebut dengan melantik 56 pegawai menjadi ASN," imbuhnya.

Kemudian alasan kesembilan yakni pembangkangan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK. Diketahui satu pekan setelah Presiden bersikap, Pimpinan KPK memutuskan untuk memberhentikan 75 pegawai pada 25 Mei 2021 yang lalu.

Baca Juga

Penyidik Nonaktif Sebut Harun Masiku di Indonesia, Ini Jawaban KPK

Kurnia menilai, sikap ini merupakan pembangkangan Pimpinan KPK terhadap instruksi atau arahan Presiden tentang kelanjutan TWK KPK. Jika Presiden tidak segera bersikap, kata Kurnia, maka marwah Presiden telah runtuh karena instruksinya diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK.

Alasa terakhir, menghentikan kontroversi Pimpinan KPK. Kurnia meyakini, Presiden memahami bahwa KPK kini berada pada ambang batas kehancuran. Terutama akibat tindakan Firli Bahuri Cs yang selalu menimbulkan kontroversi dan minim akan prestasi.

"Misalnya, kualitas penindakan yang buruk, pelanggaran etik, dan terakhir kontroversi penyelenggaraan TWK KPK. Sebagai pihak yang memilih Pimpinan KPK, Presiden punya tanggungjawab untuk mencegah praktik kesewenang-wenangan mereka," tutup Kurnia. (Pon)

#ICW #Presiden Jokowi
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Berita Terkait

Indonesia
ICW Kritik Pembebasan Bersyarat Setya Novanto, Sebut Kemunduran dalam Pemberantasan Korupsi
ICW mengkritik pembebasan bersyarat Setya Novanto. Mereka menyebutkan, adanya kemunduran dalam pemberantasan korupsi.
Soffi Amira - Selasa, 19 Agustus 2025
ICW Kritik Pembebasan Bersyarat Setya Novanto, Sebut Kemunduran dalam Pemberantasan Korupsi
Indonesia
Dugaan Korupsi Haji 2025, ICW Seret 3 Nama Pejabat Kemenag ke KPK
ICW menyeret tiga nama pejabat Kementerian Agama (Kemenag) terdiri dari satu penyelenggara negara dan dua pegawai negeri.
Ananda Dimas Prasetya - Rabu, 06 Agustus 2025
Dugaan Korupsi Haji 2025, ICW Seret 3 Nama Pejabat Kemenag ke KPK
Indonesia
ICW Laporkan Dugaan Korupsi Haji 2025 ke KPK, Libatkan 2 PT beralamat Sama
Dugaan korupsi yang dilaporkan ICW ke KPK terkait layanan masyair dan konsumsi jamaah haji 2025.
Wisnu Cipto - Selasa, 05 Agustus 2025
ICW Laporkan Dugaan Korupsi Haji 2025 ke KPK, Libatkan 2 PT beralamat Sama
Indonesia
Cerita Ajudan Saat Jokowi Pemulihan Sekaligus Liburan di Bali Bersama Semua Cucu
Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) tiba dikediaman Jalan Kutai Utara 1, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo usai berlibur bersama cucunya di Bali, Sabtu (12/7).
Alwan Ridha Ramdani - Minggu, 13 Juli 2025
Cerita Ajudan Saat Jokowi Pemulihan Sekaligus Liburan di Bali Bersama Semua Cucu
Indonesia
ICW Beberkan Kejanggalan Proyek Chromebook Rp 9,9 Triliun Era Nadiem
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komite Pemantau Legislatif (Kopel) telah mengidentifikasi sejumlah kejanggalan dalam proyek tersebut sejak 2021.
Dwi Astarini - Kamis, 05 Juni 2025
ICW Beberkan Kejanggalan Proyek Chromebook Rp 9,9 Triliun Era Nadiem
Indonesia
ICW Ungkap Polri Gunakan Uang Publik Rp 3,8 Triliun untuk 'Hajar' Rakyat
ICW mengungkap, Polri menggunakan uang publik senilai Rp 3,8 triliun untuk penanganan aksi massa.
Soffi Amira - Rabu, 26 Maret 2025
ICW Ungkap Polri Gunakan Uang Publik Rp 3,8 Triliun untuk 'Hajar' Rakyat
Berita Foto
Anggota Watimpres Era Presiden Jokowi, Djan Faridz Jalani Pemeriksan KPK
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Djan Faridz usai menjalani pemeriksaan KPK di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta, Rabu (26/3/2025).
Didik Setiawan - Rabu, 26 Maret 2025
Anggota Watimpres Era Presiden Jokowi, Djan Faridz Jalani Pemeriksan KPK
Indonesia
ICW Desak BGN Evaluasi MBG: Ada Kecacatan pada Program Unggulan Prabowo
ICW menduga kebijakan program MBG hanya mengakomodir ambisi Prabowo.
Ananda Dimas Prasetya - Minggu, 09 Maret 2025
ICW Desak BGN Evaluasi MBG: Ada Kecacatan pada Program Unggulan Prabowo
Indonesia
Peneliti ICW Didoxing Imbas Terkorup OCCRP, Jokowi Dukung Proses Hukum
Jokowi mengeluhkan masih dikaitkan dengan sejumlah masalah.
Ananda Dimas Prasetya - Selasa, 14 Januari 2025
Peneliti ICW Didoxing Imbas Terkorup OCCRP, Jokowi Dukung Proses Hukum
Indonesia
Beri Pandangan Jokowi Masuk Daftar Tokoh Terkorup, Peneliti ICW Kena Doxing
Doxing tersebut berupa pengungkapan sejumlah data pribadi mulai dari nomor telepon, nomor KTP, alamat tinggal, spesifikasi device telepon yang digunakan, hingga titik koordinat lokasi terakhir peneliti
Frengky Aruan - Jumat, 03 Januari 2025
Beri Pandangan Jokowi Masuk Daftar Tokoh Terkorup, Peneliti ICW Kena Doxing
Bagikan