Tingkat Sosial Ekonomi Perokok Aktif Lebih Rendah Ketimbang Nonperokok

Sabtu, 17 Agustus 2019 - Iftinavia Pradinantia

MEROKOK ternyata memberi permasalahan lebih kompleks dari yang pernah kita bayangkan! Selama ini kita berpikir rokok tidak baik untuk kesehatan paru-paru, janin dan lain-lain. Ternyata, rokok juga bisa menjadi gerbang kemiskinan hingga gizi buruk. Hal tersebut diungkapkan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), bekerjasama dengan Komnas Pengendalian Tembakau.

Berdasarkan riset PKJS-UI, terungkap bahwa penerima bantuan sosial perokok memiliki indikator sosial ekonomi lebih rendah dibandingkan penerima bantuan sosial nonperokok. Dalam riset, PKJS-UI menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2016 dan 2017. Data tersebut menunjukkan prevalensi merokok kelompok berpendapatan rendah meningkat lebih cepat dibandingkan pendapatan yang lebih tinggi.

Baca juga:

Sepele Tetapi Mengancam Bumi, Kenali Bahaya Limbah Puntung Rokok

Terungkap pula bahwa rumah tangga penerima bantuan sosial cenderung memiliki konsumsi rokok lebih tinggi. Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) konsumsi 3,5 batang perkapita perminggu, dibandingkan dengan bukan penerima PKH. Sedangkan penerima Beras Sejahtera (Rastra) mengonsumsi 4,5 batang rokok perminggu dibandingkan mereka yang tidak.

Lantas bagaimana mereka mendanai konsumsi rokok? PKJS-UI menduga konsumsi rokok masyarakat berpenghasilan rendah berkaitan dengan program bantuan sosial oleh pemerintah.

Mereka memanfaatkan berbagai bantuan seperti Rastra, PKH, Kartu Indonesia Sehat (KIS), hingga Program Indonesia Pintar (PIP) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan menyisihkan pendapatan mereka sendiri untuk membeli rokok.

Hasil studi menunjukkan perilaku merokok di kalangan pendapatan rendah mengakibatkan pengurangan pengeluaran penting untuk membeli makanan bergizi, pendidikan, dan fasilitas penunjang kesehatan. Mereka memiliki konsumsi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial non-perokok.

Kurangnya gizi membuat anak-anak yang tumbuh di keluarga berpendapatan rendah dan perokok aktif, juga memiliki anak usia di bawah 15 tahun yang lebih sering sakit dibandingkan mereka yang tidak merokok.

Tak hanya berdampak pada kesehatan keluarga, gizi buruk juga membuat capaian pendidikan yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial tetapi tidak merokok.

Renny Nurhasana
Renny Nurhasana (FOTO: ISTIMEWA)

"Efektivitas bantuan sosial dalam pencapai sumber daya manusia berkualitas di masa depan akan semakin berkuang jika penerima bantuan tidak mengalokasikan uang tersebut untuk membeli kebutuhan utama keluarga," ujar peneliti PKJS-UI, Dr. Renny Nurhasana.

Renny menilai, lingkungan perokok di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah juga membuat anak-anak cenderung mengimitasi gaya hidup serupa.

Akibatnya, banyak anak-anak mulai merokok sejak dini. "Prevalensi prokok anak, perokok remaja dan temuan perilaku merokok pada kalangan bawah sangat memprihatinkan," tutur Renny.

Baca juga:

5 Dampak Negatif Rokok Bagi Kecantikanmu

Komnas Pengendalian Tembakau
Teguh Dartanto (FOTO: ISTIMEWA)

Untuk mengontrol hal tersebut, Ketua tim PKJS-UI, Teguh Dartanto merekomendasikan beberapa cara sebagai pertimbangan pemerintah salah satunya dengan menaikkan cukai rokok.

Dengan melambungkan harga cukai rokok, masyarakat ekonomi rendah tak lagi dapat menjangkau rokok dan fokus akan kebutuhan rumah tangga.

"Perlu adanya mekanisme pemberian insentif dan disinsentif atas perilaku merokok terutama penerima bantuan sosial terkait generasi muda seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH)," demikian rekomendasi Teguh.

Komnas Pengendalian Tembakau
Dr. dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) (FOTO: ISTIMEWA)

"Hasil penelitian ini dapat menjadi pembelajaran bagus untuk pemerintah agar fokus pada pengembangan sumber daya manusia. Harus dipikirkan efektovitas pemberian bantuan sosial demi peningkatan kualitas manusia. Jangan sampai justru dimanfaatkan untuk membeli rokok dan berbalik mengancam peningkatan kualitas SDM," urai Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Dr. dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K), MH. (avia)

Baca juga:

4 Cara Berhenti Merokok Paling Efektif

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan