Produsen Susu Formula Bayi masih Langgar Aturan Pemasaran Global
Kamis, 24 Februari 2022 -
HAMPIR semua orangtua dan perempuan hamil di Tiongkok, Vietnam, dan Inggris terpapar promosi pemasaran susu formula 'agresif' yang melanggar aturan global yang dibuat setelah skandal lebih dari 40 tahun lalu.
Teknik pemasaran agresif dapat mendorong perempuan menjauh dari usaha menyusui dengan melakukan segala hal, mulai dari memberikan sampel gratis, hingga eksekutif yang mendirikan atau bergabung dengan 'grup ibu-ibu' di aplikasi pesan singkat populer. Demikian laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO, UNICEF, dan M&C Saatchi.
BACA JUGA:
Tenaga kesehatan juga menjadi sasaran lewat hadiah, dana untuk penelitian, dan bahkan komisi dari penjualan. Semua praktik itu dilarang di bawah pedoman internasional untuk pemasaran susu formula.
WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif untuk bayi baru lahir, jika memungkinkan, sebagai pilihan yang lebih sehat.
Penulis laporan dan beberapa ahli eksternal mengatakan sudah waktunya untuk mereformasi International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes. Kode tersebut dibuat WHO pada 1981 dalam upaya untuk mengatur industri setelah skandal pada 1970-an. Ketika itu, Nestle dituduh mengecilkan hati para ibu, khususnya di negara berkembang, untuk menyusui bayinya.
Nigel Rollins, penulis utama laporan dan ilmuwan WHO, mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara, "Apakah ada ruang untuk memperkuat kode? Tidak diragukan lagi."
Susu formula dan tembakau merupakan dua produk yang ada pedoman internasional untuk mencegah pemasaran yang agresif. Industri susu formula sekarang bernilai USD 55 miliar (Rp788.675.250.000.000) per tahun.
Meskipun demikian, hanya 25 negara yang sepenuhnya menerapkan kode tersebut ke dalam undang-undang. Selama empat dekade terakhir, penjualan susu formula meningkat lebih dari dua kali lipat, sedangkan tingkat menyusui hanya sedikit meningkat, kata WHO.
Penelitian di delapan negara
Laporan tersebut menemukan bahwa lebih dari setengah dari 8.500 orangtua di delapan negara yang disurvei (Bangladesh, Tiongkok, Meksiko, Maroko, Nigeria, Afrika Selatan, Inggris, dan Vietnam) melaporkan paparan pemasaran, banyak di antaranya melanggar kode internasional. Laporan tersebut juga menyertakan wawancara dengan eksekutif pemasaran dan 300 petugas kesehatan, dan merupakan penelitian terbesar dalam bidang ini.
Di Tiongkok, 97 persen perempuan yang disurvei pernah terpapar pemasaran susu formula; di Inggris sebesar 84 persen, dan di Vietnam, 92 persen. Lebih dari sepertiga perempuan di semua negara mengatakan bahwa petugas kesehatan telah merekomendasikan merek susu formula tertentu kepada mereka.
Sementara itu, kode tersebut memungkinkan informasi faktual tentang susu formula untuk diberikan, dan penulis mengakui pentingnya susu formula bagi perempuan yang tidak dapat atau tidak ingin menyusui, mereka mengatakan bahwa praktik pemasaran semacam itu merupakan alasan utama rendahnya tingkat menyusui di seluruh dunia.
"Pesan yang salah dan menyesatkan tentang pemberian susu formula adalah penghalang substansial untuk menyusui, yang kami tahu terbaik untuk bayi dan ibu," kata direktur eksekutif UNICEF Catherine Russell dalam sebuah pernyataan.
Tidak menyebutkan nama
WHO menolak mengomentari setiap perusahaan, dan tidak menyebutkan nama mereka dalam laporan, tetapi mengatakan bahwa tidak ada perbedaan substansial pada praktik mereka.
Namun, indeks yang disusun oleh Access to Nutrition Initiative pada tahun 2021 menemukan bahwa beberapa perusahaan lebih mematuhi kode daripada yang lain: misalnya, pemasaran Danone adalah 68 persen sesuai dengan aturan, dan Nestle, 57 persen. Namun, tiga perusahaan terkemuka yang beroperasi di Tiongkok, Feihe, Mengniu dan Yili, semuanya mendapat skor nol.
Pakar eksternal mengatakan bahwa reformasi yang lebih luas diperlukan untuk menyelaraskan semua perusahaan, dan negara, serta hukuman yang lebih keras bagi mereka yang melanggar atau mengabaikan aturan.
Gerard Hastings, profesor emeritus pemasaran di University of Stirling, Skotlandia, mengatakan regulator seperti Food and Drug Administration (FDA) harus lebih terlibat. "Kita perlu memikirkan kembali bagaimana membuatnya (kode) bekerja, sehingga dapat ditegakkan lebih kuat," katanya kepada Reuters.(aru)