Menanti Kampanye yang Bebas dari Hingar-Bingar Perang Kata

Minggu, 18 November 2018 - Eddy Flo

MerahPutih.Com - Kampanye Pilpres 2019 telah berjalan hampir dua bulan sejak dimulai pada 23 September 2018 lalu.

Deklarasi tim-tim relawan, safari politik, menjadi sajian rutin dari dua pasangan calon. Pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden juga menghiasi media massa setiap hari. Wajah keduanyapun berseliweran di televisi dan media sosial.

Namun sayangnya, masyarakat lebih banyak disajikan perang kata-kata yang dipertontonkan oleh kedua belah pihak.

Kata-kata yang terlontar seringkali menjadi santapan kedua belah pihak untuk dikomentari, dikecam, dan dijadikan bahan pemberitaan. Polemik diperluas, dan dibesarkan.

Selama dua bulan, hampir tidak ada wacana program, namun yang diingat publik adalah politik genderuwo, politikus sontoloyo, tempe setipis ATM, tampang Boyolali dan lain sebagainya.

Pasangan Nomor Urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin
Paslon Jokowi-Maruf Amin

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut fenomena ini sebagai kampanye negatif. Kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam.

Kampanye hitam merupakan kampanye dengan menyebarkan fitnah, berita bohong. Sementara kampanye negatif mengarah pada pernyataan-pernyataan negatif terhadap lawan, utamanya mengungkapkan kesalahan-keasalahan lawan.

Kampanye negatif merupakan hal yang biasa terjadi dalam kampanye di negara-negara demokrasi liberal seperti Amerika Serikat mislanya.

Prabowo-Sandi
Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Foto: Twitter/@sandiuno

Tujuan utamanya adalah menjatuhkan kredibilitas kompetitor di mata masyarakat. Sayangnya, kampanye ini tidak produktif dalam merawat demokrasi, alih-alih seringkali justru menimbulkan perpecahan.

Meski kadangkala, kampanye ini dibutuhkan untuk mengetahui profil dari para peserta pemilihan presiden. Misalnya membuka permasalahan hukum yang pernah membelit kandidat.

Dalam dua bulan kampanye, masyarakat Indonesia disuguhi dengan kampanye jenis ini. Kampanye negatif ini bahkan tidak jelas kegunaannya bagi masyarakat. Untuk mengetahui profil kandidatpun tidak.

Para pengamat politik menilai kondisi kampanye negatif ini menghalangi masyarakat untuk mendapatkan informasi penting terkait dengan program-program, visi, misi yang diusung kedua kandidat.

Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago
Direktur Lembaga Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago (MP/Asropih)

Kampanye negatif yang dangkal dan tidak substantif, kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago.

Perang kata-kata yang disajikan dalam kompetisi Pilpres kali ini tidak produktif baik bagi kandidat yang bertarung maupun bagi masyarakat pemilih.

Menurut Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yandi Hermawandi sebagaimana dilansir Antara, kampanye dengan instrumen semantik (word war/ debat diksi) tersebut tidak akan memberikan efek pada target elektabilitas.

Kampanye seperti ini hanya berefek pada perhatian pemilih (atensi) tapi tidak berefek pada pilihan (preferensi).

Selain itu, pernyataan para capres dan cawaprespun berpotensi menjadi hoaks karena ada kesalahan berpikir (intelektual cul-de-sac) yang disebabkan tiadanya argumentasi yang kuat. Padahal, publik saat ini sedang giat menghindari hoaks.

Dalam logika komunikasi politik ini biasa disebut 'fallacy of hasty generalization', kekeliruan berpikir karena membuat suatu generalisasi yang terburu-buru, katanya.

Sementara itu, perang kata-kata juga tidak akan bisa menggaet pemilih rasional utamanya dari kalangan milenial.

Kalangan milenial diperkirakan sekitar lebih dari 50 persen dari pemilih. Kalangan milennial merupakan pemilih pemula yang berusai 17-41 tahun, yang memiliki kedekatan dalam penggunaan ponsel dan teknologi digital.

Bagi pemilih rasional, terutama dari kalangan milenial yang dibutuhkan adalah perbedaan (diferensiasi) program dari kedua kandidat. Sebab, di sinilah masyarakat ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh para kandidat bila terpilih kelak.

Semua pihak tentunya menyatakan akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Hampir tidak ada capres maupun cawapres yang menyatakan akan meningkatkan kemiskinan dan menurunkan kesejahteraan.

Yang menjadi pembeda antar calon presiden adalah bagaimana caranya mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan tersebut. Inilah yang kini tengah ditunggu-tunggu kalangan millennial, kata Yandi.

Untuk itu, keberadaan perang kata-kata saat ini justru membuat mereka kehilangan momen mendapatkan informasi terkait program-program yang ditawarkan.

Demokrasi tanpa substansi Perang kata-kata saat ini juga meneguhkan demokrasi prosedural tanpa isi. Prosedur-prosedur demokrasi memang dilaksanakan. Namun substansi demokrasi yang menjadikan kandidat bertarung gagasan, meneguhkan nilai-nilai dihilangkan ataupun tertutupi.

Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto
Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan). (Foto: Biro Pers Setpres)

Akibatnya, masyarakat yang seharusnya mendapatkan pendidikan politik dengan memilih kandidat secara rasional berdasarkan program kerja, visi dan misi, kini beralih rupa mendasarkan pilihan karena sentimen, suka dan tidak suka.

Seperti diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago. Strategi politk melalui perang kata-kata hanya akan memperkuat sentimen dan perasaan suka atau tidak suka terhadap kandidat, katanya.

Sehingga pada akhirnya, pilihan ditentukan oleh sentimen dibandingkan program kerja, visi dan misi para kandidat, karena publik tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk menentukan pilihan secara rasional.

Hal senada diungkapkan oleh Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto. Gun Gun menilai, kondisi ini hanya meneguhkan para fans kedua kubu. Mereka yang terafiliasi ataupun pendukung beratnya.

Sementara bagi massa mengambang yang rasional, hal ini justru merugikan, karena tidak mendapatkan informasi berharga dalam menentukan pilihan dalam pemilu terkait program-program kerja.(*)

Baca berita menarik lainnya dalam artikel: PDI Perjuangan Diunggulkan dalam Sejumlah Survei, Hasto: Jangan Terlena

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan