MAKI Desak KPK Tetapkan Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji

Selasa, 23 September 2025 - Ananda Dimas Prasetya

MerahPutih.com - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag).

Kasus ini menyeret nama mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. MAKI menegaskan akan menggugat KPK melalui praperadilan jika dalam pekan ini belum ada penetapan tersangka. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menilai penanganan perkara ini terlalu lamban.

“Kami beri waktu sampai pekan ini. Jika belum ada tersangka, kami akan menggugat KPK melalui praperadilan,” ujarnya di Solo, Selasa (23/9).

Baca juga:

13 Asosiasi dan 400 Biro Perjalanan Haji Diduga Kasus Korupsi Kuota Haji, Proses Penyidikan Bakal Lama

Boyamin menjelaskan, inti laporan MAKI terkait dugaan praktik jual beli kuota haji plus atau haji khusus. Sesuai undang-undang, kuota haji plus hanya 8 persen dari total kuota.

Namun, aturan tersebut disiasati melalui surat keputusan Menteri Agama yang membagi tambahan kuota menjadi dua, sehingga sebagian dialihkan ke haji plus.

“Padahal seharusnya tambahan kuota dari pemerintah Arab Saudi diberikan sepenuhnya untuk jamaah reguler,” tegasnya.

Baca juga:

Mencegah Kesucian Ibadah Tercoreng, KPK Diminta Tuntaskan Skandal Korupsi Kuota Haji Secepatnya

Keputusan ini, lanjut Boyamin, membuka celah praktik kotor. Kuota haji plus yang terbatas justru dijadikan komoditas bisnis oleh oknum biro perjalanan dengan melibatkan pejabat. Ia bahkan mengaku pernah ditawari berangkat haji tanpa antre dengan membayar tambahan ribuan dolar AS.

“Waktu itu saya ditawari ikut haji plus tanpa antre dengan tambahan biaya 5.000 dolar atau sekitar Rp75 juta. Ada juga yang meminta 7.000 hingga 10.000 dolar. Kuota yang seharusnya hak jamaah reguler malah diperdagangkan untuk keuntungan segelintir orang. Itu sama saja merampas hak rakyat,” ungkapnya.

Menurut perhitungan MAKI, nilai jual beli kuota haji plus ini bisa mencapai Rp750 miliar hingga Rp1 triliun. Angka itu belum termasuk pungutan liar di lapangan, mulai dari biaya makan, penginapan, hingga transportasi.

“Belum lagi fasilitas istimewa bagi keluarga pejabat yang menggunakan visa berbeda tetapi tetap mengambil jatah akomodasi negara. Jadi total kerugian bisa menyentuh Rp1 triliun,” pungkas Boyamin. (Ismail/Jawa Tengah)

Bagikan

Baca Original Artikel
Bagikan