Kolaborasi Mahasiswa UNS dan Warga Kelola Sampah di Solo
Selasa, 06 September 2022 -
HALAMAN Masjid Brahmasto di Kelurahan Manahan, Surakarta, Jawa Tengah, ramai. Pagi itu warga RT 05 RW 08 Kelurahan Manahan berkumpul. Mereka terlihat serius menyimak paparan tentang pengelolaan sampah di lingkungannya. Acara ini digelar oleh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang tergabung dalam tim 45 Kuliah Kerja Nyata selama hampir sebulan, 6-23 Agustus 2022.
Nurmalasari, pembicara sekaligus pegiat bank sampah di Solo, menjabarkan pentingnya pengelolaan sampah secara mandiri oleh warga. Ini akan membantu mengurangi produksi sampah. Pengelolaan sampah tak bisa mengandalkan pemerintah saja. Warga pun harus aktif mengelola sampahnya agar lingkungan tetap bersih dan sehat.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Surakarta, jumlah sampah yang dihasilkan kota Solo pada 2021 mencapai 299 ton per hari. Mayoritasnya, atau sekira 61,95 persen, merupakan sampah organik. Dari 299 ton itu, sekira 84,94 persennya diangkut ke TPA Putri Cempo.
Jumlah tersebut membebani kapasitas TPA Putri Cempo. Lama-lama TPA tersebut tak mampu lagi menampung semua sampah di Solo (Surakarta). Karena itu, penting bagi warga ikut berpartisipasi untuk mengelola sampah. Sayangnya pemahaman warga tentang sampah masih rendah. Sosialisasi dan pengenalan bank sampah pun digencarkan.
Baca juga:
Atasi Membludaknya Sampah, Nadine Alexandra dan Otsuka Giatkan Bank Sampah

Mahasiswa KKN 45 memilih program bank sampah sebagai program utama karena sampah berdampak besar dalam kerusakan ekosistem dan lingkungan. Sampah mengancam kelestarian lingkungan. Tindakan sekecil apapun akan sangat berarti untuk menyelamatkan lingkungan. Misalnya memilah dan mengolah sampah yang tepat. Tapi tindakan kecil ini kurang tergali.
"Penyebabnya karena masyarakat sekitar belum mengetahui cara memilah dan mengolah sampah yang tepat. Dengan adanya permasalahan tersebut, dibuat program bank sampah untuk mengedukasi masyarakat mengenai cara memilah sampah yang nantinya juga dapat menghasilkan uang," kata Meilina, salah satu wakil mahasiswa, kepada Merahputih.com.
Mahasiswa menyasar wilayah Manahan karena karena jumlah penduduk di sana termasuk besar. Ini berarti kemungkinan produksi sampah juga besar. Tapi di sebalik itu, jumlah penduduk yang besar juga merupakan potensi untuk menarik lebih banyak orang untuk mengikuti program bank sampah.
Warga terlihat antusias mengikuti program pemilahan dan pengelolaan sampah. Pembicara dan mahasiswa juga mengajak pengurus bank sampah setempat untuk berkolaborasi menjabarkan tentang bagaimana program bank sampah tersebut dapat dijalankan. Selain itu, mereka menerangkan pula jenis-jenis sampah organik dan anorganik serta sampah apa saja yang dapat didaur ulang.
Baca juga:
Upaya Pegiat Food Waste Konsisten Merdekakan Indonesia Bebas Sampah Makanan

Sebagai tindak lanjut program ini, mahasiswa membentuk kepengurusan bank sampah. Selanjutnya, mahasiswa membagikan dua buah trash bag kepada setiap rumah. Trash bag ini akan digunakan untuk menampung sampah hasil pilahan warga berupa sampah plastik dan sampah kertas.
Sampah hasil pilahan dari warga ditimbang, lalu dibedakan antara sampah plastik dan sampah kertas. Setelah sampah-sampah tersebut terkumpul, tim KKN 45 mengundang pengepul untuk menjual sampah-sampah tersebut.
Program ini tak selalu berjalan mulus. Ada saja kendalanya. Mulai dari kesulitan mendapatkan posko sebagai tempat penampungan sampah yang telah dikumpulkan sebelum diberikan ke pengepul, belum tersedianya timbangan, dan kesulitan mencari pengepul yang mau datang mengambil sampah dari posko penampungan sementara.
Namun pada akhirnya, mahasiswa dan warga berhasil mengelola sampahnya sendiri lewat bank sampah. Peran bank sampah tak bisa disepelekan. Menurut Reksa Pambudi Rahman dalam penelitiannya, Pengaruh Keberadaan Bank Sampah Terhadap Reduksi Produk Sampah di Kota Surakarta, bank sampah sudah masuk dalam kategori efektif dan tepat dalam mengurangi volume sampah di kota Surakarta.
Nurmalasari dan mahasiswa berharap kebiasaan kecil ini berlanjut, membesar, dan menyebar. Warga mempunyai kebiasaan dan gaya hidup mengelola sampahnya sendiri seperti di Jepang. Anak-anak pun terbiasa membuang sampah sesuai jenisnya. Dengan demikian, lingkungan bisa terus lestari. (dru)
Baca juga: