Ketua Komisi III DPR RI Klarifikasi Sejumlah Pasal RKUHAP yang Tuai Kritik Publik
Rabu, 19 November 2025 -
MerahPutih.com - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, memberikan klarifikasi terkait sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang belakangan menuai kritik publik. Ia menegaskan bahwa banyak informasi yang beredar di media sosial maupun ruang publik keliru sehingga perlu diluruskan.
Habiburokhman pertama-tama menanggapi tudingan bahwa Pasal 5 RKUHAP memberi kewenangan penangkapan, penggeledahan, dan penahanan pada tahap penyelidikan. Ia menepis anggapan tersebut.
“Pernyataan itu tidak benar. Upaya paksa pada Pasal 5 dilakukan dalam tahap penyidikan, bukan penyelidikan,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11).
Ia menjelaskan bahwa penyelidik memang bisa melakukan penangkapan, tetapi tetap berada dalam kerangka penyidikan dan atas perintah penyidik. Menurutnya, syarat upaya paksa dalam RKUHAP lebih ketat dibanding KUHAP lama.
Baca juga:
Puan Ceritakan Proses Panjang Pembahasan RUU KUHAP, Sudah Berumur 44 Tahun
Terkait kritik yang menyebut metode penyamaran dan pembelian terselubung dapat diterapkan untuk semua tindak pidana, Habiburokhman menolak keras. Ia menegaskan bahwa penjelasan Pasal 16 telah membatasi teknik investigasi khusus tersebut hanya untuk tindak pidana tertentu, seperti narkotika dan psikotropika.
“Ini koalisi pemalas. Tidak benar itu. Sudah dilimitasi dalam penjelasan,” katanya.
Klarifikasi juga disampaikan terkait Pasal 105, 112A, 124, dan 132A yang dinilai memungkinkan penggeledahan dan penyitaan tanpa izin hakim. Menurutnya, anggapan itu keliru. Ia menjelaskan bahwa semua upaya paksa tetap memerlukan izin hakim, kecuali dalam kondisi sangat mendesak dengan syarat ketat.
“Jika dilakukan dalam kondisi mendesak, tetap dalam 2×24 jam harus dimintakan persetujuan hakim,” tegasnya.
Ia juga membantah kekhawatiran bahwa mekanisme restorative justice (RJ) dapat menjadi alat pemerasan di tahap penyelidikan. Habiburokhman menegaskan RJ tidak boleh dilakukan dengan paksaan atau intimidasi, sebagaimana diatur Pasal 81.
“KUHAP justru memberi batasan ketat,” ujarnya.
Baca juga:
Polisi Bisa Sadap dan Tangkap Semena-Mena di KUHAP Baru, Ketua Komisi III DPR: Tuduhan itu Hoaks
Menanggapi kritik bahwa KUHAP baru membuat Polri menjadi super power, Habiburokhman menilai tudingan itu tidak berdasar.
Ia menegaskan bahwa UUD 1945 sudah mengatur peran Polri sebagai penegak hukum, sementara RKUHAP tetap menggunakan asas diferensiasi fungsional antara polisi, jaksa, hakim, dan advokat yang saling mengawasi.
Ia juga meluruskan isu bahwa KUHAP mendiskriminasi penyandang disabilitas melalui perpanjangan masa penahanan. Menurutnya, ketentuan tersebut sama dengan aturan sebelumnya dan justru lebih ringan.
“Penyandang disabilitas 20 plus 30 hari, lebih singkat dibanding orang biasa,” ujarnya.
Habiburokhman menyesalkan minimnya pihak yang mengikuti langsung proses pembahasan RKUHAP di DPR sehingga memunculkan banyak klaim keliru.
“Kami kecewa, karena yang hadir sedikit sekali,” pungkasnya. (Pon)