Konsekuensi Penghapusan Ambang Batas Capres, Presiden Tak Punya ‘Beking’ di DPR
Selasa, 07 Januari 2025 -
MerahPutih.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menimbulkan kontroversi. Pengamat kebijakan publik Riko Noviantoro menilai, putusan itu bisa memicu kekhawatiran di masa mendatang.
“Ini bisa memicu dilema pengelolaan pemerintahan di masa depan,” kata Riko di Jakarta, Selasa (7/1).
Menurut Riko, salah satu persoalannya adalah adanya potensi Capres yang menang di 2029 bukan dari gabungan koalisi partai atau partai yang masuk ke DPR.
"Penghapusan itu punya konsekuensi pada peluang capres yang menang tanpa dukungan elektoral di DPR," ujar peneliti kebijakan publik IDP-LP ini.
Riko menyebut, meski kinerja DPR sering dipertanyakan, mau tak mau, kerja pemerintahan atau eksekutif butuh dukungan politik legislatif. Khususnya dalam pembentukan anggaran dan mengeluarkan kebijakan.
Baca juga:
Presidential Threshold Dihapus, Partai Politik Harus Segera Berbenah
Apalagi, banyak persoalan yang menjadi beban adalah menjaga stabilitas politik dalam negeri. Konsekuensi itu, lanjut Riko menimbulkan daya tawar politik eksekutif menjadi lemah.
“Karena tidak memiliki jangkar politik yang kuat di legislatif,” sebut Riko.
Hal tersebut, lanjut Riko berdampak pada kontinuitas kebijakan. Artinya presiden terpilih yang tidak memilik jangkar kuat di legislatif akan berhadapan politik secara langsung. Padahal eksekutif apa pun itu perlu support dari legislatif
"Pada soal kebijakan anggaran misalkan, pemerintah bakal kesulitan meloloskan program prioritasnya. Karena tidak ada mitra politik di DPR," imbuhnya .
Namun, Riko menganggap, putusan MK ini membuka ruang bagi putra bangsa terbaik untuk maju sebagai capres.
“Nilai plusnya, Presiden tak terjebak pada tawar menawar kendaraan politik. Sehingga dapat lebih mudah konsolidasi pemenangnya,” jelas Riko. (Knu)