Guru Honorer dan Resonansi Wasiat Terakhir Soedjatmoko
Selasa, 15 September 2015 -
MerahPutih Peristiwa - Ribuan guru honorer hari ini Selasa (15/9) mengepung ibu kota, Jakarta. Mereka datang pelbagai daerah di tanah air. Depan gedung DPR, Senayan para guru honorer itu menyampaikan 10 tuntutan.
Salah satunya pemerintah harus mengangkat tenaga honorer di bidang kependidikan, kesehatan, dan teknis atau administrasi lainnya, secara bertahap menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui kebijakan penundaan (moratorium) seleksi penerimaan ASN reguler, seperti tertuang di surat menteri PAN-RB B/2163/M.PAN/06/2015.
Tuntutan para guru honorer itu tegas, yakni mendesak pemerintah mengangkat status mereka menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Di lihat dari asas kepatutan, guru honorer berhak menuntut jadi PNS sebab sebagian besar di antara mereka ada yang sudah mengajar bertahun-tahun tapi statusnya tetap tidak berubah. Tuntutan diangkat sebagai PNS bakal berdampak pada perbaikan nasib guru honorer, minimal ada jaminan hidup dan kesejahteraan meningkat.
Seorang cendekiawan Indonesia yang juga mantan rektor universitas PBB di Tokyo, Jepang, Soedjatmoko sebelum menghembuskan nafas terakhir, memberikan wasiat yang begitu istimewa. Isi wasiat itu sebagaimana dicatat Pakar FISIP UGM dan tokoh Muhammadiyah Amien Rais dalam bukunya Resonansi (kumpulan tulisan/penerbit Republika) berisikan keprihatinan Mas Koko sapaan akrabnya di kalangan teman-teman dekat terhadap nasib guru di Indonesia.
Soedjatmoko membisikan kepada Amien Rais bahwa mutu pendidikan Indonesia tergantung pada kesejahteraan para guru. Ilmuwan besar ini menilai akar masalah rendah mutu pendidikan Indonesia, terletak pada rendahnya gaji guru dan kurangnya apresiasi pemerintah terhadap guru.
Selepas wasiat mulia Soedjatmoko itu, pada era reformasi pemerintah kemudian mematok anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan itu dimaktubkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tapi apakah dampaknya sudah terasa bagi dunia pendidikan khususnya para guru? Rasanya demo para guru honorer hari ini menunjukan realisasi 20 persen untuk anggaran pendidikan masih jauh dari amanat konstitusi.
Jalan menuju kesejahteraan para guru memang berkelok. Selain benturan payung hukum berupa peraturan menteri, masih ada jalan terjal lain yakni harus mengarungi belantara peraturan daerah. Atas nama otonomi daerah, sejumlah pemerintahan daerah menerapkan kebijakan upah untuk guru honorer begitu bervariasi. Contohnya di Nusa Tenggara Timur, pemda mengupah guru honor kisaran Rp300 ribu-500 ribu per bulan. Coba bayangkan bagaimana seorang guru bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan gaji sebesar itu? Bagaimana mungkin seorang guru bisa fokus mengajar jika untuk makan sehari-hari guru honorer harus nyambi mulai dari tukang ojek sampai bertani?
Kehidupan para guru khususnya di daerah-daerah masih memprihatinkan. Makanya tidak heran muncul kritik berupa gambar sindiran di media sosial yang berisikan nasib guru honorer di daerah. Salah satu yang paling berkesan guru di daerah Nusa Tenggara Timur, Asnat Bell. Guru di NTT ini setia hadir mengajar murid-muridnya tapi gaji nol, sementara sebagian wakil rakyat yang mana hari ini jadi tempat pengaduan para guru honorer, sering bolos dan absen tapi setiap bulan terima gaji penuh.
Nasib guru honorer pantas dan harus diperhatikan oleh setiap pemangku kepentingan. Pengabdian para pahlawan tanpa tanda jasa ini layak dihargai sebagaimana mestinya. Sebagaimana wasiat Soedjatmoko, jika ingin kualitas pendidikan Indonesia bagus, tingkatkan kesejahteraan para guru.
Baca Juga:
Puluhan Ribu Guru Honorer Kepung Gedung DPR
Wakasek SMPN 124 Jakarta: Tanpa Guru Honorer, Siswa Bisa Apa?
20 Tahun Mengabdi, Guru Honorer di Makassar Hanya Digaji Rp 200 ribu Perbulan
Curhat Guru Honorer, Ngarep Diangkat Jadi PNS