Penyandang Disabilitas Wicara Dirundung, DPR Sebut Masih Rendahnya Pemahaman dan Empati
Ilustrasi guru. Foto Freepik
MerahPutih.com - Beredar video siaran langsung di media sosial yang menampilkan dugaan penghinaan terhadap penyandang disabilitas wicara.
Dalam video tersebut, seorang pria yang diduga berprofesi sebagai guru terlihat berinteraksi dengan seorang penyandang tuna wicara bernama Cahyo dengan cara komunikasi, gestur, dan nada bicara yang dinilai publik merendahkan martabat penyandang disabilitas.
Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief, menyatakan keprihatinannya atas video tersebut.
“Kasus ini bukan sekadar persoalan etika individu, tetapi mencerminkan persoalan struktural dalam sistem pendidikan dan budaya kita yang belum sepenuhnya inklusif,” kata Habib Syarief di Jakarta, Rabu (24/12).
Baca juga:
Pemenuhan Fasilitas Bagi Disabilitas Jadi PR Pemerintah dan DPRD Jakarta
Habib menilai tindakan yang dianggap candaan tersebut menunjukkan rendahnya pemahaman terhadap dunia penyandang disabilitas wicara.
Menurutnya, sebagai pendidik, sensitivitas, empati, dan penghormatan terhadap keberagaman merupakan nilai dasar yang tidak bisa ditawar.
Ia menegaskan, isyarat merupakan hak dasar sekaligus alat utama bagi penyandang disabilitas wicara untuk berekspresi, memahami informasi, dan berpartisipasi secara setara dalam kehidupan sosial.
Ketidaktahuan masyarakat terhadap bahasa isyarat, lanjutnya, menciptakan hambatan komunikasi yang mengisolasi penyandang disabilitas dari ruang publik dan pendidikan.
“Bahasa isyarat adalah sistem bahasa yang utuh dengan gramatika dan makna. Mengabaikannya sama dengan mengabaikan kemanusiaan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Habib menyebut jutaan warga Indonesia hidup dengan gangguan pendengaran dan menjadikan bahasa isyarat sebagai bahasa ibu.
Namun, hingga kini sistem pendidikan nasional dinilainya belum secara serius mengintegrasikan bahasa isyarat dalam kurikulum umum.
Menurut Habib, pengenalan bahasa isyarat di sekolah sejalan dengan penguatan kualitas pembelajaran. Selain membangun empati sosial, pembelajaran bahasa isyarat juga dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif, kemampuan berpikir kritis, dan kecerdasan multisensori peserta didik.
Ia mencontohkan sejumlah negara seperti Swedia, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang telah mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa resmi atau pilihan di sekolah. Kebijakan tersebut dinilai mendorong lingkungan pendidikan yang lebih inklusif.
Habib mendorong pemerintah bersama DPR merumuskan langkah konkret, mulai dari pengembangan kurikulum adaptif, pelatihan guru, penyediaan materi ajar, hingga kampanye kesadaran publik.
Ia menekankan perlunya regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk mengamanatkan integrasi bahasa isyarat dalam sistem pendidikan nasional.
“Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kita memiliki kewajiban moral dan konstitusional memastikan tidak ada warga negara yang tertinggal,” pungkasnya. (Pon)
Bagikan
Alwan Ridha Ramdani
Berita Terkait
Penyandang Disabilitas Wicara Dirundung, DPR Sebut Masih Rendahnya Pemahaman dan Empati
Program dan Kawasan Transmigrasi Harus Jadi Penggerak Ekonomi Daerah
Minta Program MBG Disetop Selama Libur Sekolah, Fokus ke Ibu Hamil Saja
Tragedi Berdarah Tol Krapyak: 16 Nyawa Melayang, DPR Semprot Kemenhub Agar Bus 'Zombie' Tak Gentayangan Saat Nataru
DPR Desak Pengumuman UMP 2026 Transparan Agar Tak Ada Dusta
Negara Diminta 'Jemput Bola' Urus Sertifikat Korban Bencana Sumatera, Jangan Tunggu Rakyat Mengemis
DPR Warning Kementerian HAM: Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Jangan Cuma Jadi Pajangan, Implementasi Harus Se-Progresif Dialognya
Sindir Kinerja Kemenkes, Komisi IX DPR Sebut Pemulihan RS Pasca Banjir Sumatra Terlalu Santai
Desak Negara Hadir Selamatkan Pendidikan 700 Ribu Anak Papua
DPR Minta Imigrasi Plototin WNA Jelang Nataru Biar Enggak Kecolongan Pelanggaran Administrasi Hingga Narkoba